A. Pembahasan
1. Pengertian Ilmu Kalam
Ilmu Kalam secara etimologi adalah menurut kamus besar Arab adalah القولُ= الكلامُ yang bermakna “berbicara, berkata-kata”. Istilah lain dari Ilmu Kalam adalah teologi islam, yang diambil dari Bahasa Inggeris, theology. William L. Reese mendefinisikannya dengan discourse or reason concerning god (dikursus atau pemikiran tentang Tuhan).[1]
Dengan mengutip kata-kata William ockham, Reese lebih jauh mengatakan, “theology to be a discipline resting on revealed truth and independent of both philosophy and science”, (teologi merupakan disiplin ilmu yang berbicara tentang kebenaran wahyu serta independensi filsafat dan ilmu pengetahuan). Sementara itu, Gove mengatakan bahwa teologi adalah penjelasan tentang keimanan, perbuatan, dan pengalaman agama secara rasional.[2]
Sedangkan Ilmu kalam secara terminologi adalah suatu ilmu yang membahas berbagai masalah ketuhanan dengan menggunakan argumentasi logika dan filsafat. Selain itu, definisi Ilmu Kalam juga mempunyai banyak pendapat, antara lain:
a. Mustofa Abdul Rozaq
انَّ هذَاالعلمُ يعْتمد علَى البرَاهِيْنَ العَقلِيَّة فيمَا يَتعلَّقُ بِا العَقا ئدِ الاِيمَانيّة ايِّالبحْثُ فىالعقَائدِ الاسلاَميَّةِ اعتمادًا على العَقْلِ.
“Ilmu ini (Ilmu Kalam) yang berkaitan dengan akidah imani ini sesungguhnya dibangun di atas argumen-argumen rasional atau ilmu yang berkaitan dengan akidah isami ini bertolak atas bantuan nalar”.
b. Al-Farabi
الكلاَمُ علمٌ يُبحَثُ فيه عن ذاتِ اللهِ تَعالى وَصِفاتهِ واحوالِ المُمكناتِ منَ المبْداء واامعَاد على قَانُون السلآمِ والقَيدِ الاخيرِ لإخْراجِ العِلمِ الإِلهيِّ لِلفلاسفَةِ
“Ilmu Kalam adalah disiplin ilmu yang membahas dzat dan sifat Allah beserta eksistensi semua yang memungkinkan, mulai yang berkenaan dengan masalah dunia sampai masalah sesudah mati yang berlandasan doktrin islam. Stressing akhirnya artinya memproduksi ilmu ketuhanan secara Fil.[3]
c. Ibnu Khaldun mendefinisikan Ilmu Kalam sebagai berikut:
هُوَ عِلْمٌ يَتَضَمَّن الحجَّاجَ عن العَقائد الايما نِيّةِ باِلأدِلّةِ العَقليّةِ
“Ilmu Kalam adalah disiplin ilmu yang mengandung berbagaiargumentasi tentang akidah imani yang diperkuat dalil-dalil rasional”.[4]
2. Sumber-sumber dan Kajian Ilmu Kalam
Sumber-sumber Ilmu Kalam adalah berikut ini:
a. Al-Qur’an
Sebagai sumber Ilmu Kalam di dalam Al-Qur’an banyak menyinggung hal yang berkaitan dengan masalah ketuhanan diantaranya adalah:[5]
1) Q.S. Al-Ikhlas ( 112 ):3-4. Ayat ini menunjukkan bahwa, Tuhan tidak beranak dan tidak pula di peranakkan. Serta tidak ada sesuatupun di dunia ini yang nampak sekutu ( Sejajar) dengan-Nya.
2) Q.S. as-syura (42): 7. Ayat ini menunjukkan bahwa, Tuhan tidak menyerupai apapun didunia ini. Ia maha mendengar dan maha mengetahui.
3) Q.S. Al-Furqon (25):53. Ayat ini menunjukkan bahwa, Tuhan yang maha penyayang bertahta di atas “Arsyi”. Ia pencipta langit, bumi dan semua yang ada di antara keduanya.
Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah ketuhanan yang berkaitan dengan dzat, sifat, asma, perbuatan dan hal-hal lain yang berkaitan dengan eksistensi ketuhanan.
b. Hadits
Hadits Nabi SAW pun banyak membicarakan masalah-masalah yang dibahas Ilmu Kalam.[6] Hadits yang kemudian dipahami ulama sebagai prediksi Nabi mengenai kemunculan berbagai golongan dalam Ilmu Kalam. Diantaranya adalah:
“Hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairoh r.a. Ia mengatakan bahwa Rosulullah SAW bersabda: “orang-orang yahudi akan terpecah belah menjadi 72 golongan dan umatku akan terpecah menjadi 70 golongan”. Syeikh Abdul Qodir mengomentari bahwa hadits yang berkaitan dengan faksi umat ini, yang merupakan salah satu kajian Ilmu Kalam, mempunyai sanad sangat banyak.[7] Diantara sanad yang sampai Nabi adalah dari sahabat, seperti Anas Bin Malik, Abu Hurairoh, Abu Ad-darda, Jabir, Abu Said Al-Khudri. Dan lain sebagainya.
Oleh karena itu perpecahan umat seperti tersebut di atas pada dasarnya merupakan prediksi Nabi dengan melihat yang tersimpan dari hati para sahabatnya. Maka hadits itu diperuntukkan sebagai peringatan kepada sahabat bahayanya perpecahan dan pentingnya persatuan. [8]
c. Pemikiran Manusia
Sebelum filsafat yunani masuk dan berkembang di dunia islam, umat islam sendiri telah menggunakan pemikiran rasionalnya untuk menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan ayat-ayat Al-Qur’an terutama yang belum jelas maksudnya. Keharusan untuk menggunakan rasio ternyata terdapat pijakan dari beberapa ayat Al-Qur’an diantaranya [9]:
اَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ القُرانَ اَمْ على قُلُوبٍ اَقْفالُهَا
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci”. (Q.s. Muhammad (47:24)
Ayat serupa ini dapat ditemukan pada An-Nahl (16): 68-69, Al-Jatsiyah (45): 12-13, Al-Isro’(17): 44, Al-An’am (6):97-98, At-Taubah (9): 122 dan lain-lain. Semua ayat tersebut berkaitan langsung dengan anjuran motivasi, bahkan perintah kepada manusia untuk menggunakan rasio. Dengan demikian, manusia dapat melaksanakan fungsi utamanya, yakni sebagai khalifah Allah SWT, untuk mengatur dunia.
Dengan demikian jika ditemukan seorang muslim telah melakukan suatu kajian obyek tertentu dengan rasionya, hal secara teoritis bukan adanya pengaruh dari pihak luar saja, tetapi karena adanya perintah langsung Al-Qur’an sendiri.[10]
d. Instinct/Naluri[11]
Instinq adalah suatu kecenderungan berperilaku yang diwarisi dari nenek moyangnya. Secara Instingtif, manusia selalu ingin bertahan oleh sebab itu kepercayaan adanya tuhan telah berkembang sejak adanya manusia pertama. Abbas Mahmoud Al-Akkad mengatakan bahwa keberadaan mitos merupakan asal-usul agama dikalangan orang-orang primitif.[12] Tylor justru mengatakan bahwa animisme anggapan adanya kehidupan pada benda-benda mati merupakan asal-usul kepercayaan adanya Tuhan. Adapun Spencer mengatakan bahwa pemujaan terhadap nenek moyang merupakan bentuk ibadah yang paling tua. Keduanya menganggap bahwa animisme dan pemujaan nenek moyang sebagai asal-usul kepercayaan dan ibadah tertua terhadap Tuhan yang maha Esa.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa secara historis, Ilmu Kalam bersumber pada Al-Qur’an, Hadits, pemikiran manusia dan insting. Ilmu Kalam adalah sebuahh ilmu yang memepunyai obyek tersendiri, teristematisasikan dan mempunyai metodologi sendiri. Dikatakan oleh Musthafa Abd Ar-Raziqbahwa ini bermula di tangan pemikir mu’tazilah, Abu Hasyim, dan kawannya Imam Al-Hasan bin Muhammad bin Hanifah.[13] Adapun orang pertama membentangkan pemikiran kalam secara lebih baik dengan logikanya adalah Imam Al-Asy’ari. Ahli Sunnah Wal Jama’ah, melalui tulis-tulisannya yang terkenal yaitu Al-Maqalat.[14] Dan Al-Ibanah An-Uzhul Ad Diyanah.
3. Hubungan Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf
A. Titik Persamaan
Ilmu Kalam, Filsafat menuru william L-resee mengatakan bahwa filsafat berasal dari kata yunani Philos Sophia. Philos artinya mencintai, sedangkan shophia artinya wisdom (kebijaksanaan). Filsafat diartikan juga dengan sahabat pengetahuan.[15] obyek kajian Ilmu Kalam adalah ketuhanan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya. obyek kajian filsafat adalah masalah ketuhan di samping masalah alam, manusia, dan segala sesuatu yang ada. Sementara itu, obyek kajian tasawuf adalah Tuhan, yakni upaya-upaya pendekatan terhadap-Nya. Jadi, dilihat dari aspek obyeknya ketiga ilmu itu membahas masalah yang berkaitan dengan ketuhanan.
Argumentasi filsafat sebagaimana Ilmu Kalam dibangun di atas dasar logika. Olek karena itu, hasil kajiannya filsafat bersifat spekulatif (dugaan yang tak dapat dibuktikan secara empiris, riset dan eksperimental)[16]. Kerelatifan hasil karya logika itu menyebabkan beragamnya kebenaran yang dihasilkannya.
Baik Ilmu Kalam, filsafat, maupun tasawuf berurusan dengan hal yang sama, yaitu kebenaran. Ilmu Kalam, dengan metodenya sendiri berusaha mencari kebenaran tentang Tuhan dan yang berkaitan dengan-Nya. Filsafat dengan wataknya sendiri pula, berusaha menghampiri kebenaran, baik tentang alam maupun manusia (yang belum atau tidak dapat dijangkau oleh ilmu pengetahuan karena berada di luar atau di atas jangkauannya), atau tentang tuhan. Sementara itu, tasawuf juga dengan metodenya yang tipikal berusaha menghampiri kebenaran yang berkaitan dengan perjalanan spiritual menuju tuhan.
B. Titik Perbezaan
Perbedaan di antara ketiga ilmu tersebut terletak pada aspek metodologinya. Ilmu Kalam, sebagai ilmu yang menggunakan logika argumentasi-argumentasi naqliah berfungsi untuk mempertahankan keyakinan ajaran agama, yang sangat tampak nilai-nilai apologinya. Pada dasarnya ilmu ini menggunakan metode dialektika (sadoliyah) dikenal dengan istilah dialog keagamaan. Sebagai sebuah dialog keagamaan, Ilmu Kalam berisi keyakinan-keyakinan kebenaran agama yang dipertahankan melalui argumen-argumen rasional. Sebagian ilmuan bahkan mengatakan bahwa ilmu ini berisi keyakinan-keyakinan kebenaran, praktek dan pelaksanaan ajaran agama, serta pengalaman keagamaan yang dijelaskan dengan pendekatan rasional.[17]
Sementara itu filsafat adalah sebuah ilmu yang digunakan untuk memperoleh kebenaran rasional-metode yang digunakanpun adalah metode rasional. Filsafat menghampiri kebenaran dengan cara menuangkan (mengembarakan atau mengelarakn) akal budi secara tidak merasa terikat oleh ikatan apapun, kecuali oleh ikatan tangannya sendiri yang bernama logika.[18] Peranan filsafat sebagaimana dikatakan socrates adalah berpegang teguh pada ilmu pengetahuan melalui usaha penjelasan konsep-konsep
Adapun Ilmu Tasawuf adalah ilmu yng lebih menekankan rasa daripada rasio. Oleh sebab itu, filsafat dan tasawuf sangat distingngtif. Sebagai sebuah ilmu yang prosesnya dari rasa. Ilmu tasawuf bersifat sangat subyektif, yakni sangat berkaitan dengan pengalaman seseorang.
Di dalam pertumbuhannya Ilmu Kalam (trologi) berkembang menjadi theologi rasional dan teologi tradisional. Filsafat berkabang menjadi sains dan filsafat itu sendiri sain berkembang menjadi sainkealaman, dan sosial. Sedangkan tasawuf berkembang menjadi tasawuf praktis dan tasawuf teoritis.
____________________________________________________
[1] William L Reese, Dictionary of philosophy and religion, humanitas Press Ltd, USA, 1980, 28.
[2] Philop Bob Cock bove (Ed), Websters’s third New International Dictionary of the English language, G8c Merviam Company Publishers, 1966, 2371.
[3] Raziq, op. Cit. Hlm.
[4]
[5] Ibid, hlm, 260-261.
[6] Ibid, 810
[7]
[8] Haru Natition, Akal dan Wahyu dalam Islam(UI Press:Jakarta, 1986), 39-51.
[9]
[10]
[11] Al-Akkad. Op.cit. 14
[12]
[13] Harun Natition, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan(UI Press:Jakarta), 6.
[14] William Resee, Dictionary of Philisophy and religion
[15]
[16]
[17]
[18]
Rabu, 11 September 2013
ILMU QALAM - SATU TINJAUAN
MEMAHAMI QADHA DAN QADAR DALAM SUDUT PENETAPAN HARGA...KHUSUS UNTUK FATHUL BARI???
KONTEKS PERBAHASAN INI SEBENARNYA TIDAK BERPEHUJUNG JIKA TIDAK MEMAHAMI KERANA IA TERHERET BERSAMA AKIDAH...DI SINI ADA SEDIKIT PENCERAHAN....SILA SHARE...
Qadha dan Qadar dalam kitab Nizhamul Islam
Ada sebahagian kalangan melakukan tuduhan-tuduhan keji terhadap Hizbut Tahrir dengan menyatakan bahawa Hizbut Tahrir mengingkari takdir atau tidak mempercayai takdir. Hizbut Tahrir juga dituduh Muktazilah (Qadariyah) kerana menurut para penuduh itu pemahaman Hizbut Tahrir tentang qadha dan qadar sangat mirip dengan Muktazilah. Tidak hanya itu, Hizbut Tahrir juga dituduh telah melakukan fitnah terhadap kalangan yang mendakwa Ahli sunnah wal Jamaah, bahawa Ahli sunah adalah sama seperti Jabariyah sebagaimana yang terdapat dalam kitab Nizhamul Islam.
Pihak yang menuduh Hizbut Tahrir itu adalah dari kalangan Salafi . Mereka menuduh Hizbut Tahrir telah menyamakan Ahlussunah (Ibnu Taimiyah ) dengan Jabbariyah . Padahal mereka keliru. Bahawa yang dimaksudkan Ahlussunah yang terdapat dalam kitab Nizhamul Islam itu adalah Ahlussunah versi Asy'ariyah , bukan Ahlussunah yang diusung Ibnu Taimiyah. Justru Ahlussunah versi Asy'ariyah inilah yang sering ' diserang' pemahamannya oleh kalangan Ahlussunah yang diusung Ibnu Taimiyah. Jadi , mereka telah keliru. Mereka menyangka Hizbut Tahrir telah menyamakan Ahlussunah versi Ibnu Taimiyah dengan Jabbariyah . Padahal yang dikritik Hizbut Tahrir dalam kitab Nizhamul Islam adalah Ahlussunah yang versi Asy'ariyah . Dari sini kelihatan sekali bahawa kalangan Salafi terlalu terburu -buru dalam melakukan justifikasi . Bagaimana boleh membincangkan mutakallimin tetapi kok membahas Ahlussunah versi Ibnu Taimiyah ? Bagaimana boleh ? Justru , orang yang memahami konteks permasalahannya , pasti akan berkesimpulan bahawa Ahlussunah yang dimaksudkan di sini adalah versi Asy'ariyah , bukan Ibnu Taimiyah.
Pembahasan qadha 'dan qadar, secara khusus telah dibincangkan oleh Hizbut Tahrir dalam satu bab tersendiri , yaitu qadha ' dan qadar dalam kitab Nizhamul Islam. Pembahasan yang sama juga boleh dijumpai dalam kitab Syakhshiyatul Islamiyah jilid I. Perbahasan ini sengaja diberikan ruang khas, kerana Hizbut Tahrir ingin meletakkan sesuai dengan proporsinya . Hizbut Tahrir tidak ingin terjebak dalam pembahasan yang melelahkan dan terjebak dalam perbincangan yang tidak produktif sebagaimana yang dilakukan para mutakallimin (ahli kalam), termasuk Jabbariyah , Muktazilah , dan Ahlussunnah (Abu Hasan Al Asy'ari) . Apa yang dimaksudkan dengan perbincangan yang tidak produktif? Tentang hal ini boleh anda baca dalam catatan saya yang berjudul Kesalahan- kesalahan Ilmu Kalam .
Secara fundamental, Hizbut Tahrir telah meletakkan suatu paradigma baru dalam pembahasan qadha 'dan qadar, iaitu membincangkan perbuatan manusia secara relevan (kaitannya) dengan pahala dan dosa. Atau dengan kata lain, pembahasan ini berkaitan dengan hukum perbuatan manusia. Hizbut Tahrir tidak meletakkan pembahasan qadha 'dan qadar sebagaimana paradigma mutakallimin , dimana mereka meletakkan pembahasan qadha ' dan qadar tetapi tidak dikaitkan dengan pahala dan dosa. Para mutakallimin justru melakukan kesalahan dengan meletakkan pembahasan qadha 'dan qadar, tetapi dikaitkan dengan " penciptaan " perbuatan manusia (khalqul af'al) dan tertulisnya perbuatan manusia dalam Lauhul Mahfuzh .
contoh:
Kalau seorang koruptor ditanya, " Mengapa kamu rasuah ? " Tentu si penanya akan pusing jika si pencuri menjawab, " Saya rasuah kerana perbuatan saya ini sudah ditetapkan Allah dalam Lauhul Mahfuzh . " Atau koruptor itu akan mengatakan begini, "Saya rasuah, kerana perbuatan saya ini merupakan takdir Allah atas saya . " Atau , " Saya rasuah, kerana sudah ditakdirkan oleh Allah. "
Contoh lain:
Seorang anggota dewan telah menjual barang tambang minyak milik rakyat kepada pihak asing , sehingga rakyat banyak yang kesusahan kerana mahalnya kos untuk mendapatkan minyak. Lalu ditanyakan kepada orang tersebut , "Mengapa anda menjual tambang minyak milik rakyat itu kepada pihak asing?" Lalu orang tersebut berkata, "Saya berbuat seperti ini kerana sudah menjadi takdir bagi saya untuk berbuat begini. "
Jika hal ini dibincangkan , iaitu tentang " siapa yang menciptakan perbuatan manusia " tentu tidak akan dapat diselesaikan secara memuaskan dan tidak akan selesai. Pembahasan hal seperti ini, sama persis dengan pembahasan qadha 'dan qadar yang dilakukan oleh mutakallimin. Mereka berdebat habis- habisan tentang " siapa yang menciptakan perbuatan manusia " dan " tertulisnya perbuatan manusia di Lauhul Mahfuzh ". Perdebatan panjang ini berlangsung hingga puluhan hingga ratusan tahun. Dan sesungguhnya, perdebatan ini sama sekali tidak produktif dan sangat melelahkan kaum muslim. Maka perdebatan dengan topik ini, harus ditinggalkan!
Kerana itulah, Hizbut Tahrir mengajarkan kepada seluruh syababnya untuk tidak menjadikan masalah "tertulisnya perbuatan manusia di Lauhul Mahfuzh" atau "siapa yang menciptakan perbuatan manusia" sebagai asas (dasar) pembahasan qadha dan qadar. Alasannya, hal itu tidak berkaitan dengan "pahala dan dosa" atau "halal dan haram" bagi manusia. Jadi, harus dicari paradigma (asas) baru yang relevan (menyambung) dengan pahala dan dosa. Apa itu? Yaitu: Undang-undang perbuatan manusia itu sendiri!
Hizbut Tahrir kemudian melakukan pengkajian yang mendalam tentang fakta perbuatan manusia dari segi : apakah manusia itu dipaksa untuk berbuat ( musayyar ) atau diberi kebebasan untuk memilih perbuatan (mukhayyar) . Dan setelah dikaji secara mendalam, ternyata ada dua jenis perbuatan manusia:
Pertama,
Adakalanya perbuatan itu musayyar (dipaksa) , misalnya manusia tidak boleh terbang dengan tubuhnya sendiri , manusia mengalami suatu kemalangan di luar kuasanya, dan sebagainya. Segala perbuatan atau fakta saat manusia berstatus musayyar inilah yang (oleh Hizbut Tahrir) disebut dengan qadha. Yang menetapkan qadha adalah Allah, dan manusia tidak akan diminta untuk dipertanggungjawabkan tentang hal ini. Tidak ada hitungan pahala dan dosa, atau halal - haram dalam masalah ini.
Kedua,
Adakalanya manusia bebas memilih perbuatan (mukhayyar) . Misalnya, makan nasi, minum khamar, mencari nafkah dengan jalan korupsi, bekerja sebagai petani, bekerja sebagai kaki tangan penjajah, dan lain- lain sesuai dengan kehendak atau pilihannya sendiri. Di sinilah manusia memanfaatkan qadar, iaitu watak-watak khusus yang melekat pada segala sesuatu. Misalnya, api yang memiliki karakter membakar. Tetapi manusia mahu menggunakannya untuk membakar sate atau membakar jasad manusia, itu pilihan manusia. Contoh lain, manusia mempunyai kecerdasan. Manusia mau memanfaatkan kecerdasannya itu untuk berpihak kepada orang Islam atau orang kafir, itu pilihan manusia. Dalam konteks mukhayyar ini, manusia akan diminta untuk bertanggungjawab. Yang menetapkan qadar hanya Allah semata. Api mempunyai watak-watak panas, itu hak Allah. Manusia mempunyai kecerdasan, itu juga kerana pemberian Allah. Tetapi dalam hal pemanfaatannya, manusia tetap akan diminta untuk bertanggungjawab. Tetap akan ada hitungan pahala dan dosa.
Oleh kerana itu, berdasarkan hal tersebut, koruptor tadi harus tetap dihukum, sekalipun dia berkeyakinan bahawa perbuatannya tersebut tertulis dalam Lauhul Mahfuzh. Sebab, yang ia pertanggungjawabkan adalah perbuatan korupsinya (korupsi merupakan perbuatan dosa), bukan keyakinannya itu. Sebab, keyakinannya itu tidak ada hubungannya dengan pahala dan dosa atau halal dan haram.
Kita akan mengatakan kepada koruptor itu, "Silakan saja kamu yakin bahawa perbuatan kamu tertulis di Lauhul Mahfuzh, tetapi kamu harus tetap dihukum, karena kamu telah berdosa disebabkan menyalahi larangan Allah dan Allah tidak pernah memaksamu berbuat dosa. Ingat, rasuah itu haram hukumnya. "
Oleh kerana itu, inilah yang harus kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Ketika kita merasa sedang dalam keadaan lemah, tidak bersemangat, kemudian kita bermaksiat, mungkin akan terlintas dalam benak kita, "saya melakukan ini atas perbuatan saya sendiri atau sudah menjadi takdir saya?" Jika kita masih berfikir seperti ini, maka itu artinya kita berfikir sebagaimana para mutakallimin . Selayaknya kita tidak berfikir seperti itu. Tetapi hendaknya kita memikirkan, "perbuatan saya ini, apa hukumnya? " Dengan demikian, kita akan berpuas hati dengan jawapannya , bahawa "perbuatan ini hukumnya haram!" . Tetapi jika kita masih mempersoalkan, siapa yang menciptakan perbuatan kita, maka jawapannya, dijamin tidak memuaskan dan akan berpotensi menimbulkan soalan-soalan lain yang lebih membingungkan. Jadi, mulakan berfikir yang mampu untuk difikirkan, bukan memikirkan sesuatu yang tidak mampu kita fikirkan.
BERBAGAI PENGALAMAN
Suatu ketika saya pernah berdialog dengan salah seorang kawan. Beliau aktif dalam pengajian di kalangan saudara -saudara Wahabi di salah satu pusat kajian di bandar saya. Pada saat itu kami sedang membincangkan tentang kenaikan harga barang yang akan dilakukan oleh kerajaan. Kemudian kawan saya tersebut menyatakan bahawa kenaikan harga barang ini terjadi kerana kehendak Allah, sambil mengutip sebuah hadis berikut.
Pada zaman Nabi saw pernah terjadi bahawa harga-harga melambung tinggi. Kemudian para sahabat merasa resah dan mengadukan hal tersebut kepada Rasulullah saw. seraya berkata, "Wahai Rasulullah, harga - harga barang banyak yang naik, maka tetapkan keputusan yang mengatur harga barang." Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab , "Sesungguhnya Allah adalah Dzat yang menetapkan harga, yang menyempitkan dan melapangkan rezeki , Sang Pemberi rezeki . Sementara aku berharap bisa berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntutku disebabkan kezalimanku dalam urusan darah maupun harta." (HR. Ahmad, Abu Daud , Turmudzi , Ibnu Majah, dan dishahihkan Al -Albani)
Berdasarkan hal tersebut, kawan saya itu beranggapan bahawa Allahlah yang Maha menetapkan harga. Saya tidak tahu apa maksudnya. Kemudian saya bertanya kepadanya, "Bermakna kenaikan harga barang ini adalah kehendak Allah? " Lalu dia menjawab , "Ya. " Lalu saya pengesahan lagi , "Padahal yang merancang menaikkan harga barang ini adalah Perdana Menteri, Najib Razak. Lalu pula, yang menaikkan harga barang itu Allah atau Najib Razak? Allah atau manusia? "Kawan saya lalu menjawab, "Itu sudah ketetapan Allah." Lalu saya berkata kepadanya," Jawapan anda belum menjawab soalan saya . Jadi , anda pula , siapa yang menaikkan harga barang , Allah atau manusia? "Maka dia pun tidak boleh memberikan jawapan selain jawapan," Itu sudah ketetapan Allah. "
Jawapan "itu sudah ketetapan Allah" menunjukkan bahawa sebenarnya pembahasan tentang kenaikan harga barang ini digiring ke arah pembahasan akidah, iaitu tentang khalqul af'al (penciptaan perbuatan). Padahal, selayaknya pembahasan ini dijauhkan dari akidah. Sebab, jika dikaitkan dengan pembahasan akidah, maka yang akan terjadi adalah sebagaimana perbincangan antara saya dengan rakan-rakan saya di atas. Suatu diskusi yang membingungkan. Siapa yang menaikkan harga barang? Allah atau manusia? Jika jawapannya Allah, pasti akan muncul pertanyaan: bukankah kenaikan harga barang ini akan membuat rakyat menjadi susah? Membuat rakyat susah itu perbuatan yang zalim atau tidak? Jika zalim, akankah Allah berbuat zalim kepada hamba-Nya? Jika memang ini menaikkan harga barang ini adalah perbuatan Allah, lalu apakah kita harus pasrah dan berdiam diri ketika melihat minyak yang sudah menjadi hak kita justru diangkut ke luar negeri? Lalu , jika jawapannya adalah manusia, pasti akan muncul pertanyaan: bukankah tadi di atas dikatakan bahawa Allah - lah yang Maha menetapkan harga? Ini suatu pembahasan yang membingungkan.
Oleh kerana itu, sangat tidak tepat jika pembahasan tentang kenaikan harga barang ini digiring kepada persoalan akidah. Sebab, jika digiring kepada persoalan akidah, jelas sekali bahawa orang tersebut tidak mengetahui fakta persoalan yang sesungguhnya. Faktanya, Malaysia adalah negeri yang mempunyai harta kekayaan yang melimpah, termasuk status pengeluar minyak sendiri. Persoalannya, Pemimpin Malaysia yang boros berbelanja. Akibatnya, rakyat Malaysia tidak mendapat apa- apa selain kekecewaan dan penderitaan hidup. Inilah fakta SEBENARNYA. Maka sangat tidak tepat jika persoalan kenaikan harga barang ini diarahkan pada persoalan akidah. Jika tidak tepat, lalu yang tepat seperti apa?
Pembahasan yang tepat adalah mengarahkan persoalan kenaikan harga barang ini kepada persoalan undang-undang, bukan persoalan akidah. Apa maksudnya? Maksudnya adalah menghukumi perbuatan 'menaikan harga barang', bukan membahas 'siapa yang menaikkan harga barang'. Jika ditanyakan tentang hukum 'menaikkan harga barang' tentu jawapannya adalah haram. Sebab, Rasulullah saw telah bersabda, "Kaum muslim itu berserikat dalam tiga hal: air, padang gembalaan, dan api (sumber tenaga)." ( HR. Abu Dawud )
Jika kaum muslim berpersatuan atas tiga hal tersebut, itu artinya ketiga hal tersebut adalah milik kaum muslim (rakyat). Maka haram hukumnya pemimpin menaikkan harga barang dengan rakyatnya menderita kerana kenaikan itu diikuti dengan kenaikan harga barang lain. Inilah pemahaman yang tepat tentang persoalan 'menaikkan harga barang'. Inilah yang diajarkan Hizbut Tahrir kepada saya. Iaitu tidak membincangkan 'siapa yang menciptakan perbuatan: Allah atau manusia? 'Tetapi membahas 'apa hukum perbuatan manusia?'.
Terlepas dari pembahasan tersebut, sebenarnya hadis di atas adalah hadis yang berkaitan dengan kes tas'ir (sekatan/ sembunyi barang/ penetapan harga), bukan menaikkan harga sesuka hati. Rasulullah (selaku ketua negara) tidak mau menetapkan harga, kerana Rasulullah tidak ingin ketika pada hari kiamat beliau tertahan masuk syurga oleh hak orang lain hanya kerana beliau telah melakukan sekatan harga. Jadi , hadis di atas adalah dalil tentang haramnya melakukan sekatan harga oleh ketua negara (khilafah)
contoh:
Misalnya kepala negara khilafah menetapkan bahawa harga gandum dalam negeri, satu kilo ialah 200 dinar. Maka siapa pun yang menjual gandum 1 kilo, harganya tidak boleh melebihi 200 dinar. Hal seperti inilah yang disebut tas'ir (sekatan harga). Ini tidak boleh. Mengapa tidak boleh? Sebab, pada hakikatnya seorang penjual bebas menjual barang dagangannya sesuai harga yang dia inginkan. Dia boleh menjual 1 kuintal gandum itu dengan harga 178 dinar , 200 dinar , atau lebih dari itu, namun masih dalam konteks kewajaran, misalnya 205 dinar atau 210 dinar. Inilah yang dikhuatiri oleh Rasulullah dengan kalimat "aku berharap bisa berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntutku disebabkan kezalimanku dalam urusan darah maupun harta". Sebab, jika (misalnya) Rasulullah menetapkan sekatan harga 200 dinar, padahal ketika seorang penjual boleh menjual 1 kilo gandum seharga 210 dinar , itu artinya ada rezeki dari si penjual gandum yang ditahan oleh Rasulullah, iaitu 10 dinar. Tetapi kerana ada sekatan harga, maka 10 dinar yang sebenarnya boleh didapatkan di penjual gandum, akan hilang sia-sia. Hal seperti inilah yang ditakutkan Rasulullah dan disebut oleh beliau sebagai bentuk kezaliman.
Namun dalam setengah hal seperti penetapan harga syiling adalah dibenarkan mengikut syarak demi menjaga kemaslahatan masyarakat seluruhnya...Jelas hadis tadi adalah hadis untuk melarang pemimpin menetapkan harga....bukan soal Allah yang menentukan harga. Sekian.
KESIMPULAN
Berdasarkan pemahaman di atas, paradigma (asas) baru dalam pembahasan qadha 'dan qadar yang digagas Hizbut Tahrir ( sebagaimana yang diajarkan kepada saya) sangatlah fundamental, kerana dapat menghilangkan kesamaran seputar masalah qadha ' dan qadar. Justru menurut saya, inilah pemahaman yang sangat tepat , jauh dari sesuatu yang membingungkan , memuaskan akal, mententeramkan hati, dan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat, serta menjauhi sesuatu yang tidak bermanfaat (menghilangkan sia-sia).
Inilah yang diajarkan Hizbut Tahrir kepada saya, yaitu mengaitkan pembahasan qadha 'dan qadar dengan pahala dan siksa ( halal dan haram), bukan dengan khalqul af'al (penciptaan perbuatan) .
1.gif" style="background-attachment: initial; background-clip: initial; background-color: transparent; background-image: initial; background-origin: initial; background-position: initial initial; background-repeat: initial initial; border-bottom-width: 0px !important; border-color: initial !important; border-left-width: 0px !important; border-right-width: 0px !important; border-style: initial !important; border-top-width: 0px !important;" />
MUT'AH DAN HUKUMNYA
Nikah mut'ah ialah perkawinan antara seorang lelaki dan wanita dengan maskawin tertentu untuk jangka waktu terbatas yang berakhir dengan habisnya masa tersebut, di mana suami tidak berkewajiban memberikan nafkah, dan tempat tinggal kepada isteri, serta tidak menimbulkan pewarisan antara keduanya.
Ada 6 perbezaan prinsip antara nikah mut'ah dan nikah sunni (syar'ie):
1. Nikah mut'ah dibatasi oleh waktu, nikah sunni tidak dibatasi oleh waktu.
2. Nikah mut'ah berakhir dengan habisnya waktu yang ditentukan dalam akad atau fasakh, sedangkan nikah sunni berakhir dengan talaq atau meninggal dunia.
3. Nikah mut'ah tidak berakibat saling mewarisi antara suami isteri, nikah sunni menimbulkan pewarisan antara keduanya.
4. Nikah mut'ah tidak membatasi jumlah isteri, nikah sunni dibatasi dengan jumlah isteri hingga maksima 4 orang.
5. Nikah mut'ah dapat dilaksanakan tanpa wali dan saksi, nikah sunni harus dilaksanakan dengan wali dan saksi.
6. Nikah mut'ah tidak mewajibkan suami memberikan nafkah kepada isteri, nikah sunni mewajibkan suami memberikan nafkah kepada isteri.
Dalil-Dali Haramnya Nikah Mut'ah
Haramnya nikah mut'ah berlandaskan dalil-dalil hadits Nabi saw juga pendapat para ulama dari 4 madzhab. Dalil dari hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitabnya Sahih Muslim menyatakan bahwa dari Sabrah bin Ma'bad Al-Juhaini, ia berkata: "Kami bersama Rasulullah saw dalam suatu perjalanan haji. Pada suatu saat kami berjalan bersama saudara sepupu kami dan bertemu dengan seorang wanita. Jiwa muda kami mengagumi wanita tersebut, sementara dia mengagumi selimut (selendang) yang dipakai oleh saudaraku itu. Kemudian wanita tadi berkata: "Ada selimut seperti selimut". Akhirnya aku menikahinya dan tidur bersamanya satu malam. Keesokan harinya aku pergi ke Masjidil Haram, dan tiba-tiba aku melihat Rasulullah saw sedang berpidato diantara pintu Ka'bah dan Hijr Ismail. Beliau bersabda, "Wahai sekalian manusia, aku pernah mengizinkan kepada kalian untuk melakukan nikah mut'ah. Maka sekarang siapa yang memiliki isteri dengan cara nikah mut'ah, haruslah ia menceraikannya, dan segala sesuatu yang telah kalian berikan kepadanya, janganlah kalian ambil lagi. Karena Allah azza wa jalla telah mengharamkan nikah mut'ah sampai Hari Kiamat (Shahih Muslim II/1024).
Dalil hadits lainnya: Dari Ali bin Abi Thalib ra. ia berkata kepada Ibnu Abbas ra bahwa Nabi Muhammad saw melarang nikah mut'ah dan memakan daging keldai jinak pada waktu perang Khaibar (Fathul Bari IX/71).
Pendapat Para Ulama
Berdasarkan hadits-hadits tersebut diatas, para ulama berpendapat sebagai berikut:
- Dari Madzhab Hanafi, Imam Syamsuddin Al-Sarkhasi (wafat 490 H) dalam kitabnya Al-Mabsuth (V/152) mengatakan: "Nikah mut'ah ini batil menurut madzhab kami. Demikian pula Imam Ala Al Din Al-Kasani (wafat 587 H) dalam kitabnya Bada'i Al-Sana'i fi Tartib Al-Syara'i (II/272) mengatakan, "Tidak boleh nikah yang bersifat sementara, yaitu nikah mut'ah".
- Dari Madzhab Maliki, Imam Ibnu Rusyd (wafat 595 H) dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid (IV/325 s.d 334) mengatakan, "hadits-hadits yang mengharamkan nikah mut'ah mencapai peringkat mutawatir" Sementara itu Imam Malik bin Anas (wafat 179 H) dalam kitabnya Al-Mudawanah Al-Kubra (II/130) mengatakan, "Apabila seorang lelaki menikahi wanita dengan dibatasi waktu, maka nikahnya batil."
- Dari Madzhab Syafi', Imam Syafi'i (wafat 204 H) dalam kitabnya Al-Umm (V/85) mengatakan, "Nikah mut'ah yang dilarang itu adalah semua nikah yang dibatasi dengan waktu, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, seperti ucapan seorang lelaki kepada seorang perempuan, aku nikahi kamu selama satu hari, sepuluh hari atau satu bulan." Sementara itu Imam Nawawi (wafat 676 H) dalam kitabnya Al-Majmu' (XVII/356) mengatakan, "Nikah mut'ah tidak diperbolehkan, karena pernikahan itu pada dasarnya adalah suatu aqad yang bersifat mutlaq, maka tidak sah apabila dibatasi dengan waktu."
- Dari Madzhab Hambali, Imam Ibnu Qudamah (wafat 620 H) dalam kitabnya Al-Mughni (X/46) mengatakan, "Nikah Mut'ah ini adalah nikah yang bathil." Ibnu Qudamah juga menukil pendapat Imam Ahmad bin Hambal (wafat 242 H) yang menegaskan bahwa nikah mut'ah adalah haram.
Rujukan:
1. Dr. Nashir bin Abdul Karim Al-Aql, Dirasat fil ahwa wal firaq wal Bida' wa Mauqifus Salaf minha.
2. Drs. KH Dawam Anwar dkk, Mengapa Kita menolak Syi'ah.
3. H. Hartono Ahmad Jaiz, Di bawah Bayang-bayang Soekarno-Soeharto.
4. Abdullah bin Sa'id Al-Junaid, Perbandingan antara Sunnah dan Syi'ah.
5. Dan lain-lain, kitab-kitab karangan orang Syi'ah.


[Baca selanjutnya...]