INI ADALAH SATU GARAPAN PENCERAHAN MINDA....HARAP MAKLUM!!!
Prolog
Khilafah Islamiyah tidak tumbang dengan sendirinya. Perang dunia pertama, di mana Utsmaniyah (1517 – 1924 M) sebagai pewaris Khilafah Islamiyah setelah Umayyah (661 – 750 M) dan Abbasiyyah (754 -1517 M)1 bergabung dengan Jerman untuk melawan Inggris dan Perancis adalah penyumbang terbesar ambruknya dinasti ini. Sebagai imperium besar yang kalah bermain strategi politik dan kalah perang, bukan hanya wilayah-wilayah bagian yang menjadi sasaran pencaplokan negara pemenang, akan tetapi wilayah sentral pun berusaha dijajah, dikuasai dan dipengaruhi. Jika tidak secara geografis maka secara politis.
Adalah Mustafa Kemal Attaturk dengan kekuatan organisasinya, Turki Muda, membubarkan Khilafah Islamiyah ketika Sultan Abdul Hamid II masih sebagai penguasa. Sejak saat itu, tepatnya tanggal 3 Maret 1924, Khilafah Islamiyah yang sudah menapakkan jejak sejarah hampir 13 abad, secara resmi dibubarkan. Sebuah peristiwa yang secara de facto menghapus Khilafah Islamiyah dari dunia Islam. Mustafa Kemal kemudian menjadi sosok historis yang misterius. Sebagian kalangan yang mengenang Khilafah Islamiyah dengan tinta emasnya di segenap lini peradaban menilai Mustafa Kemal sebagai pengkhianat dan antek zionis. Sebalikya, kalangan yang memandang Khilafah Islamiyah sebagai makhluk diktator, despotis dan korups menilai Mustafa Kemal sebagai sang pencerah.
Kekalahan politik bukan lah faktor tunggal bangrutnya Utsmaniyah. Sebagaimana dinasti Abbasiyah di Baghdad dan Umayah di Spanyol, segudang faktor internal turut menentukan. Khilafah Islamiyah memang menjanjikan prinsip-prinsip ideal seperti Al-Syura (musyawarah), al-adalah (keadilan), al-musawah (persamaan),2 akan tetapi prinsip-prinsip dasar ini seringkali tidak diejawentahkan dalam bingkai praktik Khilafah Islamiyah. Utsmaniyah pun mengalami anomali sama dengan Abbasiyah.3 Terlepas dari gambaran positif di sisi lainnya, Umayah, Abbasiyah dan Utsmaniyah adalah lukisan nyata sebuah imperium yang otoriter, despotis, korups, dan terpecah belah.
Di samping itu, Utsmaniyah yang menuhankan militerisme menyebabkan tidak bergairahnya ilmu pengetahuan dan mewabahnya kebodohan. Di samping itu, luas wilayah yang hampir seluruhnya merupakan capaian-capaian militeristik menyebabkan ketakberdayaan Utsmaniyah untuk menjangkau dan mengurusinya. Lagi-lagi, sebagaimana Baghdad era Abbasiyah, Turki era Utsmaniyah hanya menjadi sentral kekuasaan yang bersifat simbolistik, sedangkan kekuasaan real dimiliki penguasa wilayah yang siap memanfaatkan kelemahan kekuasaan sentral dan bahkan mensubversi pemerintahan.
Khilafah Islamiyah, bagaimanapun, merupakan wacana yang teramat penting dilihat dari sisi mana merupakan sentral sejarah Islam yang telah berjalan selama hampir 13 abad. Sebuah tema baru rupanya mulai diintrodusir secara serius dalam khazanah fikih kita, yaitu Fikih Khilafah (Fiqh Al-Khilafah). Fokus kajian fikih yang akhirnya menjadi bagian dari tema besar Fikih Politik (Al-Fiqh Al-Siyasi). Tulisan ini secara sederhana akan berusaha menganalisis fenomena Khilafah Islamiyah yang selama ini marak dikampanyekan di Indonesia oleh salah satu gerakan Islam dan relevansinya untuk diterapkan pada masa sekarang.
Khilafah, Imamah, Daulah dan Syura; Problem Definisi
Benar Muhammad Said Al-Asymawi. Mengkaji khilafah, ibarat menyelam dalam banjir bandang atau ibarat melangkah di atas jalanan beranjau.4 Bisa saja seseorang gagal memahami seluk beluk dan hakikat khilafah setelah masuk ke dalam pengertiannya yang absurd. Khilafah adalah nomenklatur yang digunakan dengan pengertian yang berbeda. Sebagian tidak membedakan antara khilafah kenabian dan khilafah ketuhanan, antara khilafah sebagai konsep normatif dengan realitas historis, antara khilafah sebagai bentuk pemerintahan multi-nasional dengan daulah islamiyah atau nation-state, dan antara khilafah sebagai bentuk pemerintahan multi-nasional dengan syura sebagai sistem pemerintahan.
Secara etimologis, dalam beberapa literatur bahasa, khilafah merupakan derivasi kata kerja khalafa yang berarti datang kemudian, kebalikan dari salafa atau taqaddama yang berarti telah berlalu. Dalam Al-Qur’an, berbagai derivasi kata khalafa digunakan dengan arti yang berbeda-beda seperti khalf, khalifah, khilaf, ikhtilaf, khalfah, yakhlif, akhlafa, yastakhlif dan lainnya.5 Dari sekian makna etimologis yang digunakan Al-Quran, tidak satupun mengindikasikan adanya makna pemerintahan Islam sebagaimana sekarang khilafah dipahami sebagian kelompok Islam. Di dalam Al-Qur’an kata khalifah disebutkan dua kali6 dan tidak satu pun dari keduanya mengindikasikan makna pemimpin pemerintahan.7
Sedangkan secara terminologis, definisi khilafah yang sekarang ini sering digunakan, justru diambil dari pengertian Al-Mawardi tentang Imamah. Imamah menurut Al-Mawardi adalah kepemimpinan yang dibentuk untuk menggantikan peran kenabian (khilafah al-nubuwah) dalam menjaga perkara agama (hirasah al-din) dan mengatur hal ihwal dunia (siyasah al-dunya).8 Definisi ini mengindikasikan eksistensi pemerintahan dalam Islam. Definisi yang diberikan ulama-ulama Islam selanjutnya hampir sama dengan yang dikemukakan Al-Mawardi.9 Sedangkan pengertian pemerintahan Islam multi-nasional yang dipahami Al-Nabhani dan pengikutnya pada masa sekarang ini, barangkali secara implisit tercakup dalam redaksi khilafah al-nubuwah. Rasyid Ridha pun dalam Al-Khilafah yang terbit pertama kali pada tahun 1922 M, akhirnya menegaskan khilafah Islamiyah sebagai kepemimpinan negara Islam multi-nasional (al-jami’ah) untuk memelihara kemaslahatan agama dan dunia.10
Sedangkan imamah, secara bahasa berarti kepemimpinan. Imam adalah orang yang mempunyai kekuasaan tertinggi.11 Meski sudah menjadi sebuah nomenklatur madzhab Syiah, akan tetapi madzhab Sunni tetap menggunakan terma imamah semakna dengan khilafah. Sinonimitas lain adalah al-zi’amah. Imamah digunakan untuk menjelaskan ideologi pemerintahan Syiah yang bisa jadi menghindari terminologi khilafah sebagai ideologi pemerintahan Sunni. Ada beberapa similiaritas di samping diferensiasi atau bahkan kontradiksi konseptual antara keduanya. Di satu sisi madzhab Sunni dan Syiah sama-sama memposisikan khilafah dan imamah sebagai pengganti peran kenabian,12 tapi di lain sisi Sunni tidak mengakui prinsip-prinsip ishmah al-imam, taqiyyah, raj’ah, bida’, ghaibah dan lain sebagainya .13
Adapun daulah adalah nomenklatur yang digunakan untuk menjelaskan konsep negara baik dalam bentuk pemerintahan nasional maupun multi-nasional. Dalam sejarah perkembangan Khilafah Islamiyah, pemerintahan multi-nasional bisa disebut Daulah Islamiyah sedangkan pemerintahan “nasional” biasanya disebutkan duwailah atau imarah. Meskipun dilihat dari perspektif penguasa sentral, duwailah sebenarnya adalah negara bagian. Secara de jure, duwailah adalah sebuah zona kekuasaan di bawah payung khilafah, meski secara de facto kekuasaan efektif dimiliki duwailah-duwailah itu yang bahkan, dalam kasus tertentu, mempunyai kekuatan subversif terhadap khilafah sebagai pemerintahan sentral.14
Sedangkan syura lebih tepat disandingkan, dalam perkembangan selanjutnya, dengan demokrasi. Syura adalah satu-satunya sistem pemerintahan dalam Islam yang sudah diterapkan semenjak awal Islam. Nabi Muhammad menerapkannya dalam tata kelola pemerintahan sehari-hari. Nabi Muhammad pernah mengatakan, “Jika kalian berdua (Abu Bakr dan Umar) bersepakat maka saya tidak akan mengingkari kalian.”15 Sahabat menerapkan prinsip ini dengan mekanisme yang berbeda dalam suksesi kepemimpinan Khulafa Al-Rasyidun. Umar Ibn Al-Khatab pernah mengatakan,”Barang siapa melakukan baiah kepada seseorang tanpa musyawarah umat Islam maka tidak lah absah...”.16 Sedangkan demokrasi lahir di Yunani dan kemudian menjadi wacana politik di Barat Modern. Demokrasi baru dikenal Islam abad XIX M, ketika syura sudah lama menghilang dalam sejarah dan kesadaran umat Islam.17
Khilafah Islamiyah; Schizophrenia!
Islam memang berhasil mengukir sejarah gemilang yang cukup panjang. Islam tidak hanya sukses bermain cantik di kancah geo-politik akan tetapi juga menorehkan tinta emas di lembar paradaban intelektual. Dalam kancah geo-politik, dalam jangka waktu yang kurang dari satu abad, Islam telah mengembangkan kekuasaan politiko-religius dalam sebuah wilayah, yang luasnya hanya bisa diimbangi oleh Kekaisaran Romawi. Bahwa agama Islam telah menyebar dalam waktu yang sedemikian singkat di tiga benua, dan berhasil membawa dunia di bawah satu sistem agama, satu bentuk pemerintahan dan satu cara hidup.18
Bisa dibaca selama abad VII dan ke VIII M, Umayah dan Abbasiyah telah mengurangi wilayah Byzantine di Timur. Begitupun kekaisaran Persia Sasanian menghadapi kekalahan total. Hajjaj Ibn Yusuf telah bergerak dari Persia ke India; Musa Ibn Nushair atas perintah dari Damaskus bergerak ke arah barat dari Mesir melalui Afrika Utara ke Qayrawan, dan ke arah barat terjauh yaitu Maghrib, menundukkan Berber di sepanjang perjalanan ke Tangier dan ke pantai Atlantik; Thariq Ibn Ziyad telah melintasi selat ke Spanyol atas perintah Ibn Nushair pada tahun 711 M. Di bawah pemimpin-pemimpin baru, Arab dan Berber bergerak menuju semenanjung Iberia ke arah Pyrenees dan Gaul. Spanyol telah ditaklukkan, dan pada tahun 732 M tentara-tentara Islam yang dipimpin oleh Abdurrahman telah bergerak ke arah Pyreness Barat dan menyelesaikan pengepungan Afrika Utara dan Eropa.19
Di level peradaban intelektual, pemerintahan Umayah mengusung toleransi dan universalitas pengetahuan dengan membiarkan ilmu pengetahuan yang berasal dari tradisi Helenistik tumbuh subur di Syiria; sekolah-sekolah Kristen, Sabian dan Persian berkembang di Alexandria, Beirut, Jundi-Shaur, Nisibis, Harran dan Antioch. Pemerintahan Abbasiyah megikuti saja jejak Umayah, menggalakkan penerjemahan karya Yunani ke dalam bahasa Arab. Bahkan seringkali penerjemahan tersebut dilakukan orang-orang Yahudi dan Kristen Nestorian. Al-Makmun pada tahun 830 M mendirikan pusat riset dan penerjemahan yang dinamakan Baitul Hikmah di mana penerjemahan dari bahasa Syria, Yunani, Sanskerta dan Pahlavi sampai abad X M terus berjalan. Di antara penerjemah besar dan penghimpun buku pada awal-awal abad kebudayaan Islam adalah Ishah Ibn Hunain. Dalam terjemahannya memasukkan karya-karya Aristoteles, Galen, Plato, Hippocrates, Dioscorides, Ptolemy dan Alexander dari Aphrodisias. Karya-karya Al-Khawarizmi dan Al-Biruni juga merupakan karya-karya penting. Al-Biruni menyusun tabel astronomi, memperkenalkan angka hindu, merumuskan tabel-tabel trigonometri dan bekerja sama dengan enampuluh cendekiawan lain menyusun ensiklopedi geografis.20
Menyaksikan dengan sepenuh emosi runtuhnya capaian luar biasa Khilafah Islamiyah menyebabkan kemirisan rasa yang tiada tara. Buku-buku sejarah Islam pun barangkali ditulis oleh para sejarawan muslim itu dengan linangan air mata, ketika mengisahkan runtuhnya Baghdad atau barangkali Cordova dan Turki. Sebagian umat Islam belakangan, ketika dihadapkan pada posisi umat Islam yang serba “asfala safilin”, tiba-tiba saja mengenang keindahan dan kebesaran masa lalu, sebuah romantisme sanggup menanggalkan segenap kepahitan dan kebobrokan di lain sisi sebagai penyebab mereka mengindap sindrom schizophrenia.
Pengusung Khilafah Islamiyah, menurut Asymawi, adalah pengidap sindrom schizophrenia, kondisi psikopatologis di mana manusia terdorong mengingat-ingat bagian-bagian masa lalu dan melupakan bagian-bagian lainnya. Ingatan nostalgis masa lalu itu kemudian berubah menjadi bayangan-bayangan yang memengaruhi bagaimana seseorang berpikir. Penderita penyakit ini, biasanya terputus dari pengamatan dunia luar, mengarah kepada dunia imaginasi, khayal dan mimpi21 yang kadang tidak mungkin nyata lagi. Para pengusung Khilafah Islamiyah, mengingat dan mewiridikan kejayaan Khilafah Islamiyah di satu sisi, tapi di lain sisi melupakan kelemahan, kepahitan dan kegetiran cukup lama yang disebabkan olehnya. Khilafah Islamiyah yang sesungguhnya merupakan konsep dinamis dan profan, menjadi konsep statis yang eternal.22
Dari Wahdah Al-Daulah Menuju Wahdah Al-Ummah
Setelah Utsmaniyah dibubarkan oleh Mustafa Kemal Attaturk dunia Islam mengalami kekosongan kepemimpinan. Beberapa pemimpin wilayah Islam pada waktu itu berusaha menggadang khilafah dengan sentralitas baru. Amir Husain, pemimpim Makkah Al-Mukarramah yang mewarisi Masjid Al-Haram sebagai sentral ibadah umat Islam, dan Raja Fuad di Mesir sebagai negara Arab terbesar dan mempunyai lembaga keagamaan dengan otoritas terbesar di dunia Islam yaitu Al-Azhar Al-Syarif, adalah dua di antara pemimpin Islam yang menginginkan tampuk kepemimpinan Khilafah Islamiyah baru.
Dalam hiruk pikuk percaturan politik internal maupun intervensi eksternal yang ricuh, muncul pandangan-pandangan kontroversial justru dari dalam Al-Azhar. Ali Abdurraziq, seorang ulama Al-Azhar, menganggap Khilafah Islamiyah sebagai konsep historis dari politik Islam yang bisa saja dirubah dan bukan konsep idealis yang paten. Ia juga berpandangan bahwa kepemimpinan Nabi Muhammad SAW berlandaskan dasar-dasar kepemimpinan yang sudah ada pada masa pra Islam. Nabi Muhammad tidak merujuk wahyu Al-Qur’an dalam hal ketatanegaraan dan tidak bertendensi membentuk pemerintahan Islam.23 Lebih dari itu, kepemimpinan Nabi Muhammad dalam hal politik pemerintahan bukan bagian dari skenario wahyu.24 Ia lebih merupakan seorang juru dakwah pembawa peringatan dan berita gembira, daripada tokoh politik.
Abdurraziq menuliskan gagasan yang mengagetkan seluruh umat Islam itu dalam sebuah buku berjudul Al-Islam wa Ushul Al-Hukm yang terbit pertama pada tahun 1925 M, satu tahun setelah tumbangnya Khilafah Islamiyah. Pada tahun yang sama, seorang sarjanawan Mesir bernama Abdurrazaq Al-Sanhuri baru memulai program doktor untuk kedua kali dengan judul disertasi cukup menantang, Al-Khilafah wa Tathawwuruha li Tushbiha Ashabata Umamin Syarqiyyah. Disertasi ini baru terbit pertama dalam edisi Perancis pada tahun 1926 dan baru terbit dalam edisi Arab pada tahun 1988. Hemat penulis, buku ini merupakan jalan tengah antara pendapat Abdurraziq yang menihilkan sama sekali dimensi politik Islam dalam pewahyuan dan gerakan Islam kontemporer yang menuhankan Khilafah Islamiyah sebagai satu-satunya kepemimpinan Islam yang ideal.
Setelah seperempat abad buku Al-Islam wa Ushul Al-Hukm beredar, lahir sebuah buku dengan nada yang sama. Buku dengan nuansa kritik tajam terhadap konsep dan eksistensi Khilafah Islamiyah lagi-lagi justru ditulis oleh seorang ulama Al-Azhar, Khalid Muhammad Khalid. Ia menuliskan gagasannya dalam sebuah buku berjudul Min Huna Nabda‘ yang nantinya akan mendapatkan perlawanan dari Muhammad Al-Ghazali, seorang ulama kharismatik Al-Azhar dalam bukunya Min Huna Na’lam. Meski akhirnya, tidak seperti Abdurraziq yang memegang kuat-kuat pemikirannya, Muhammad Khalid menuliskan sebuah buku, Al-Daulah fi Al-Islam, sebagai sikap rujuk pemikiran dalam buku sebelumnya.
Selain Al-Sanhuri dan Muhammad Al-Ghazali, dalam rangka merespon pemikiran Abdurraziq dan Muhammad Khalid, Muhammad Bakhit Al-Muthi’i juga merasa perlu untuk menulis Haqiqah Al-Islam wa Ushul Al-Hukm, Muhammad Khadar Husain juga menulis Naqdu Kitab Al-Islam wa Ushul Al-Hukm. Tidak hanya sebatas perdebatan di level wacana dan pemikiran, Abdurrraziq harus menerima ‘kutukan’ Al-Azhar ketika institusi ini secara resmi mengeluarkan keputusan pemecatan dirinya dari segenap jabatan di Al-Azhar, dicabutnya gelar akademik yang disandangnya, dikeluarkan dari korps ulama Al-Azhar (zumrah al-ulama) dan dengan begitu tidak berhak untuk mengisi kuliah formal maupun non formal di lembaga pendidikan dan masjid-masjid di bawah Al-Azhar.
Setelah itu, buku-buku dengan nuansa fikih politik tumbuh subur bak jamur di musim hujan, baik dengan nuansa pemikiran yang cenderung pro maupun kontra konsep Khilafah Islamiyah. Abdul Wahab Khalaf, Ali Al-Khafif, Muhammad Al-Banna, Abdurrahman Tag, menulis buku dengan judul yang sama yaitu, Al-Siyasah Al-Syar‘iyyah. Muhammad Yusuf Musa, Shadiq Arjun, Abdullah Al-Arabi, Ahmad Huraidi, dan Al-Nabhani menuliskan buku dengan judul yang sama pula yaitu, Nidham Al-Hukm fi Al-Islam. Abu Faris dan Salim Al-Awa juga menulis buku dengan judul yang sama yaitu, Al-Nidham Al-Siyasi fi Al-Islam.
Buku-buku dengan judul yang berbeda juga sedemikian suburnya, di antaranya Minhaj Al-Islam fi Al-Hukm karya Muhammad Asad, Al-Nadhariyyat Al-Siyasiyyah Al-Islamiyyah karya Dhiyauddin Al-Rays, Al-Sulthat Al-Salas fi Al-Dasatir Al-Arabiyyah Al-Muashirah wa fi Al-Fikr Al-Siayasi Al-Islami karya Sulaiman Thamawi. Pendiri Ikhwan Al-Muslimin, Hasan Al-Banna, juga merasa perlu menulis sebuah buku berjudul Musykilatuna fi Dhaui Al-Nidham Al-Islami, sedangkan Sayid Qutb, cukup produktif dengan menuliskan, Al-Salam Al-Alami wa Al-Islam, Al-Adalah Al-Ijtimaiyyah fi Al-Islam dan Ma’arakah Al-Islam wa Ra’s Al-maliyah.
Sedangkan beberapa buku buah karya ulama kontemporer bisa disebutkan misalnya, Al-Islam wa Al-Siyasah wa Al-Sulthah wa Al-Ilmaniyyah karya Muhammad Imarah, Al-Qur’an wa Al-Sulthan dan Muwathinun La Dhimmiyun karya Fahmi Huwaidi, Fiqh Al-Syura wa Al-Istisyarah karya Taufiq Al-Syawi, Al-Syura wa Dimuqrathiyyah karya Humaid Al-Anshari, Riasah Al-Daulah fi Al-Fiqh Al-Islami karya Ra’fat Ustman dan Ahkam Al-Dhimmiyyin wa Al-Musta’minin karya Abdul Karim Zaidan. Karya-karya tersebut hanya sebagian dari karya-karya yang berbicara pemerintahan Islam, belum termasuk karya-karya yang berbicara tema-tema penyerta seperti, al-jihad, al-salam, alaqah dauliyah, dan lain sebagainya.
Di antara deretan buku-buku yang ada, buah karya Al-Sanhuri terlihat spesial karena menawarkan gagasan besar yang genuin. Gagasan itu berupa perlunya membangun solidaritas umat Islam untuk menggantikan eksistensi Khilafah Islamiyyah. Al-Sanhuri menjelaskan lebih lanjut bahwa konsep solidaritas umat Islam memegang prinsip wahdah al-ummah yang tidak ditali dengan batas-batas agama dan nasionalisme akan tetapi siapa dan di mana saja yang bersedia tunduk pada prinsip-prinsip yang menjadi kesepakatan bersama yang sesuai dengan ajaran Islam.25 Al-Sanhuri tidak mengingkari bahwa Khilafah Islamiyah, terlepas torehan sejarah positif dan negatifnya, merupakan sebuah sistem yang ideal dalam rangka dakwah Islam. Dan itu dibuktikan oleh Khulafa Al-Rasyidun. Al-Sanhuri juga tidak mengingkari bahwa Nabi Muhammad diutus bukan hanya sebagai juru dakwah tetapi juga juru politik yang terkait dengan sistem dan tata kelola pemerintahan. Akan tetapi, Al-Sanhuri memahami bahwa Khilafah Islamiyah yang diartikan sebagai negara Islam multi-nasional bukan lah konsep statis akan tetapi konsep dinamis yang bisa berubah. Al-Sanhuri menawarkan perspektif bagaimana merubah konsep Khilafah Islamiyah sebagai wahdah al-daulah (kesatuan negara) menuju wahdah al-ummah (kesatuan umat) dengan mewujudkan sebuah lembaga multi-nasional yang akan memperjuangkan prinsip-prinsip Islam di belahan dunia manapun.
Al-Sanhuri juga secara lebih tegas berpendapat, bahwa pemerintahan Khulafa Al-Rasyidun sebenar-benarnya adalah bentuk pemerintahan republik dengan sistem demokrasi. Bentuk pemerintahan republik ini dalam hal mekanisme pergantian kepemimpian diterjemahkan sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi. Doktrin Islam dibedakan antara dimensi ajaran yang bersifat statis dan eternal dengan dimensi ajaran yang bersifat dinamis dan profan. Dimensi ajaran yang statis dan eternal adalah bahwa bentuk pemerintahan harus lah bersandar kepada kesepakatan rakyat melalui mekanisme syura, sedangkan dimensi ajaran yang bersifat dinamis dan profan adalah mekanisme pergantian kepemimpinan.26
Pemerintahan Khulafa Al-Rasyidun juga dipandang Al-Sanhuri, sebagaimana selanjutnya diperjuangkan oleh seorang ulama moderat yang otoritatif, Muhammad Yusuf Al-Qaradhawi, sebagai pemerintahan sistem demokrasi. Seorang khalifah tidak mempunyai kekuasaan mutlak. Dalam arti, khalifah harus lah dikawal oleh rakyat yang menjalankan fungsi kontrol dan evaluasi. Hal ini merupakan prinsip dasar dalam sistem demokrasi modern. Benar bahwa dua fungsi rakyat ini (kontrol dan evaluasi) belum sampai kepada detail mekanistik sebagaimana yang sekarang ada. Hal ini memang berkembang sesuai dengan pergeseran ruang dan waktu. Khulafa Al-Rasyidun menempatkan diri mereka sebagai orang yang dipercaya atas masalah keuangan negara dan bertanggungjawab atas kesalahan dan penyelewengan. Mereka bermusyawarah dengan rakyat dan tunduk pada pengawasan. Mereka juga dibatasi kewajiban menaati hukum dan memperjuangkan keadilan.27
Terlepas dari kritik banyak kalangan yang mengkhawatirkan solidaritas umat Islam ala Al-Sanhuri berbau islamisme, dalam peta percaturan dunia global dengan pertimbangan geo politik yang ada, dibutuhkan jalan tengah antara Khilafah Islamiyah yang mengandung prinsip dasar persatuan umat Islam dan arus nasionalisme yang meniscayakan negara bangsa (nation-state). Al-Asymawi dan Al-Sanhuri sama-sama tidak setuju dengan Ali Abddurraziq yang mereduksi doktrin Islam tidak mengajarkan dasar-dasar politik, akan tetapi keduanya berbeda pendapat mengenai Khilafah Islamiyah. Jika Al-Asymawi menganggap negara bangsa adalah bentuk pemerintahan final untuk saat ini, maka Al-Sanhuri menawarkan gagasan supaya wahdah al-daulah dalam bingkai Khilafah Islamiyah ditransformasikan menjadi wahdah al-ummah dalam bingkai negara bangsa dengan membentuk organisasi solidaritas umat Islam sejagad.
Tidak diketemukan satu sejarah yang sama bagi budaya yang berbeda-beda di dunia. Setiap budaya mempunyai sejarah dan periodenya sendiri. Apabila kita menempatkan diri di abad pertengahan Barat, maka kebudayan Islam sedang menempuh periodenya yang berbeda dari Barat, sebuah masa keemasan (al-‘ashr al-żahabi) ketika ilmu-ilmu keislaman bertumbuh kembang dan sempurna pada tujuh abad pertama. Fase tujuh abad kedua bagi Islam adalah periode stagnasi dengan dominasi kebudayaan pada level pengembangan tradisi al-syurukh wa al-mulakhashat yang mengurangi tradisi penemuan baru (ijtihad). Periode stagnasi ini terjadi terutama pada masa Utsmaniyah ketika kebudayaan cukup hanya dengan mewiridkan masa lalu.28
Periode modern Islam dimulai ketika gerakan independensi negara-negara Islam menyeruak di abad XIX.29 Tiga aliran pemikiran pembaruan mengemuka; reformasi keagamaan Jamaluddin Al-Afghani, Liberalisme Al-Thahthawi dan sekulerisme ilmiah Syibli Syumail. Ketika Barat sekarang berada pada penghujung modernisme maka kita sedang memulainya. Kita berada pada fase reformasi keagamaan dan kebangkitan, sedang Barat sudah melewatinya di tangan Martin Luther King dan John Calvin, kebangkitan di tangan Geordano Bruno semenjak abad ke XV dan XVI. Fenomena ini tidak menggambarkan superioritas maju dan mundurnya sebuah bangsa, tapi itulah perjalanan sejarah dan perbedaan periodesasi.30
Sebagaimana Karl Kasper, Hasan Hanafi memandang bahwa era modern adalah periode ekspansi Eropa dan telah empat abad berjalan. Ketika perang dunia pertama membatasi interaksi antara negara-negara Eropa sendiri, maka terjadilah ledakan ekspansi ke arah Timur. Yaitu ketika Eropa sama-sama mempunyai satu kebudayaan, agama dan bangsa sedangkan bangsa-bangsa selain Eropa berada dalam kefakuman budaya dan tercerai berai di mana saja.31 Kolonialisme Barat dengan segenap visi primordialisme, agama dan ekonomi, setelah sekian lama harus menyerah di bawah gerakan independensi negara-negara Timur. Eropa lalu kehilangan negara-negara jajahan, kekayaan dan sumber daya yang dimilikinya lalu segera memancang dasar dan bentuk imperialisme baru. Dalam benak mereka, apabila tekonologi adalah penyebab keberhasilan imperialisme gaya konvensional maka rasionalitas adalah senjata yang akan meletakan negara-negara Timur di bawah ketiak imperialisme baru. Kasper mendefiniskan rasionalitas ini lebih jelas dengan bentuk wacana-wacana perdamaian, toleransi, dan pluralisme yang mampu menentramkan negara-negara Timur yang diam-diam terus dijarah kekayaannya. Maka Kasper dengan tegas merubah konsep imperialisme itu, dari imperialisme militeristik ke arah imperialisme pemikiran dan kekayaan negara atas nama kerja sama dan keteraturan dunia.32
Epilog
Dihadapkan pada kondisi umat Islam yang terpecah belah dan tidak mempunyai garis kepemimpinan yang menentu, maka gagasan Al-Sanhuri untuk mentransformasikan konsep Khilafah Islamiyah – terlepas dari kebekuan sebagian kelompok umat Islam di dalam melihat dan menilainya – ke arah bentuk persatuan dan solidaritas umat Islam dengan menyelenggarakan organisasi multi-nasional sangat lah relevan. Dalam hal ini, organisasi internasional harus lah didasarkan pada semangat persatuan dan solidaritas untuk mewujudkan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam di dalam segenap aspeknya.
Dengan begitu, permasalah khilafah kita tarik ke arah bagaimana mengompromikan antara prinsip khilafah, yaitu kesatuan dunia Islam dengan fakta perkembangan sosial dan politik yang meniscayakan konsep negara bangsa. Bagaimanapun, bentuk negara bangsa tidak bisa dipungkiri telah menjadi kenyataan historis. Dalam Islam pun, mengenai bentuk negara, sebagaimana sebelumnya dijelaskan, merupakan bagian dari dimensi ajaran Islam yang bersifat dinamis dan profan. Akan tetapi tidak bisa dipungkiri pula bahwa Al-Quran dan Al-Sunnah mengajarkan tentang persatuan dan solidaritas umat Islam yang apabila ini kita abaikan akan melanggar dimensi ajaran Islam yang bersifat statis dan eternal, yaitu persatuan (wahdah al-ummah).
Daftar Pustaka
Abdurraziq, Ali. Al-Islam wa Ushul Al-Hukm; Bahsun fi Al-Khilafah wa Al-Hukuman Al-Islamiyyah. Kairo: Mathba’ah Mishr. 1925.
Al-Asymawi, Muhammad Said. Al-Khilafah Al-Islamiyyah. Beirut: Al-Intisyar Al-Arabi. 2004.
Al-Ghazali, Abu Hamid. Ihya’ ‘Ulumiddin. Beirut: Dar Al-Fikr, tt.
Hanafi, Hasan. Khishar Al-Zaman. Kairo: Markaz Al-Kitab Li Al-Nasyr. 2004.
Hanafi, Hasan. Qadhaya Muashirah fi Al-Fikr Al-Gharbi Al-Muashir (Kairo: Dar Al-Fikr Al-Arabi, tt)
Hisyam, Ibn. Al-Sirah Al-Nabawiyyah. Beirut: Dar Al-Ma’rifah, tt.
Huwaidi, Fahmi. Muwathinun la Dzimmiyyun. Kairo: Dar Al-Syuruq. 1999.
Imarah, Muhammad. Ma’rakah Al-Islam wa Ushul Al-Hukm. Kairo: Dar Al-Syuruq. 1989.
Jughaim, Nu’man. Thuruq Al-Kasyf ‘An Maqashid Al-Syari‘ah. Beirut: Dar Al-Nafais. 2002.
Khaldun, Abdurrahman Ibn. Muqaddimah. Kairo: Al-Mathba’ah Al-Syarqiyyah. tt)
Al-Mawardi, Abu Hasan. Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah wa Al-Wilayah Al-Diniyyah. Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, tt.
Mujahid, Huriyah Taufiq. Al-Fikr Al-Siyasi Min Aflathun Ila Abduh. Kairo: Makabah Anjlo Misyriyyah. 1992.
Nakosteen, Mehdi. Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat; Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam. Surabaya: Risalah Gusti. 2003.
Ridha, Muhammad Rasyid. Al-Khilafah. Kairo: Al-Zahra li Al-I’lam Al-Arabi. 1988.
Shobri, Musthafa. Mauqif Al-Aql wa Al-Ilm wa Al-Alam Min Rabb Al-Alamin. Beirut: Dar Ihya Al-Turats Al-Arabi. 1981.
Al-Syahrastani, Abu Bakar. Al-Milal wa Al-Nihal. Beirut: Dar Al-Ma’rifah. 1975.
Syaraf, Muhammad Jalal. Ali Abdul Musthafa Muhammad, Al-Fikr Al-Siyasi fi Al-Islam; Syahsyiyyat wa Madzahib. Iskandariya: Dar Al-Jamiyat Al-Mishriyyat. 1978.
Al-Syawi, Musthafa. Fiqh Al-Syura wa Al-Istisyarah. Manshurah: Dar Al-Wafa li
Al-Thaba’ah wa Al-Nashr. 1992.
Taimiyah, Taqiyyuddin Ibn. Al-Siyasah Al-Syar’iyyah fi Ishlah Al-Ra’i wa Al-Ra’yah. Kairo: Dar Al-Kitab Al-Arabi. 1951.
Al-Qaradhawi, Muhammad Yusuf. Al-Siyasah Al-Syar’iyyah fi Dhai Nushush Al-Quran wa Maqashidiha. Kairo: Maktabah Wahbah. 1998.
Al-Zuhaili, Wahbah. Haq Al-Hurriyyah fi Al-Alam. Damaskus: Dar Al-Fikr. 2000.
Al-Qafari, Nashir Ibn Abdilah Ibn Ali. Mas’alah Al-Taqrib Baina Ahl Al-Sunnah wa Al-Syiah. Riyadh: Dar Thayyibah. 1418 H.
Wajdi, Farij. Dairah Al-Ma’arif Al-Islamiyah. Beirut, Dar Al-Ma’rifah, 1971.
1 Penulis tidak memasukkan period Kenabian (610 – 632 M) dan Khulafa Al-Rasyidun (632 – 661 M) dalam daftar khilafah dengan karena mengacu Abdurrazaq Al-Sanhuri yang membedakan Al-Khilafah Al-Rasyidah dengan Al-Khilafah Al-Naqishah. Terlepas dari Kritik Al-Asymawi, yang hemat penulis agak berlebihan, terhadap upaya kategorisasi ini yang cenderung ingin menutupi Khilafah Islamiyah dari kecacatannya sebagai sebuah model pemerintahan. Baca Muhammad Said Al-Asymawi, Al-Khilafah Al-Islamiyyah (Beirut: Al-Intisyar Al-Arabi, 2004) cet. V, hlm. 399. Lebih dari itu khilafah setelah Khulafa Al-Rasyidun lebih merupakan hasil pengaruh dari sistem kepemimpinan Persia dan Bizantium. Muhammad Jalal Syaraf, Ali Abdul Musthafa Muhammad, Al-Fikr Al-Siyasi fi Al-Islam; Syahsyiyyat wa Madzahib (Iskandariya: Dar Al-Jamiyat Al-Mishriyyat, 1978) hlm. 135.
2 Huriyah Taufiq Mujahid, Al-Fikr Al-Siyasi Min Aflathun Ila Abduh (Kairo: Makabah Anjlo Misyriyyah, 1992) cet. II, hlm. 164.
3 Al-Asymawi membedakan antara konsep normatif dengan konsep historis. Mayoritas umat Islam tidak membedakan antara Khilafah Islamiyah dengan sejarah Khilafah Islamiyah. Maka, menurut Al-Asymawi, penerjemahan konsep normatif tidak harus melalui bentuk kemepimpinan khilafah. Dengan atau tanpa khilafah yang terpenting adalah konsep normatif itu bisa diejawentahkan. Al-Asymawi, Al-Khilafah, hlm. 398.
4 Al-Asymawi, hlm. 26.
5 Farij Wajdi, Dairah Al-ma’arif Al-Islamiyah (Beirut, Dar Al-Ma’rifah, ,1971) vol. I, cet. III, hlm. 742-743.
6 Q.S. Al-Baqarah: 30 dan QS. Shad: 26.
7 Ibn Khaldun mencatat bahwa ketika Abu Bakar memegang tampuk kepemimpinan umat Islam, para sahabat dan umat Islam menjulukinya Khalifatu Rasulillah. Umat Islam juga menjuluki para pemimpin delegasi dakwah Islam dengan julukan Amir. Dari kata Imarah. Masyarakat Jahiliyyah menjuluki Muhammad sebagai Amiru Makkah wa Amiru Al-Hijaz. Umat Islam menjuluki Sa’d Ibn Abi Waqash dengan julukan Amirul Mukminin karena kepemimpinannya atas bala tentara Qadisiyah. Abdullah ibn Jahsy atau Amr ibn Al-Ash menjuluki Khalifah kedua Umar Ibn Al-Khatab dengan julukan Amir Al-Mukminin dan diikuti oleh sahabat yang lain karena dipandang baik. Farid Wajdi, Dairah Al-Ma’arif, hlm. 571.
8 Mujahid, Al-Fikr Al-Siyasi, hlm. 227. Al-Mawardi tidak menjelaskan apapun mengenai apa yang dimaksud dan batasan antara perkara agama dan dunia. Sayangnya, ketika kita melakukan pelacakan terhadap kategorisasi ini tidak menemukan data yang baik untuk melakukan batasan-batasan.
Ihya’ ‘Ulumiddin, buah karya Al-Ghazali yang hidup satu abad setelah Al-Mawardi, barangkali bisa menjelaskan batasan antara ilmu agama (syar’iyyah) dan ilmu dunia (ghair syar’iyyah). Ilmu agama adalah ilmu yang langsung kita warisi dari para Nabi tanpa perantara akal pikiran. Sedangkan ilmu dunia dibagi menjadi dua; bermanfaat (mahmudah) dan tidak bermanfaat (ghair mahmudah). Ilmu dunia yang bermanfaat adalah segala ilmu yang terkait dengan kemaslahatan duniawi seperti ilmu kedokteran, arsitektur, industri, telekomunikasi, kedirgantaraan dan lain sebagainya. Ilm pemerintahan, barangkali bisa dimasukkan dalam kategori yang kedua. Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumiddin (Beirut: Dar Al-Fikr, tt) cet. III, vol. I, hlm. 27-28.
9 Muhammad Rasyid Ridha, Al-Khilafah (Kairo: Al-Zahra li Al-I’lam Al-Arabi, 1988) hlm. 17.
10 Ibid., hlm. 17. Meski definisi ini sudah adalah dalam pengertian yang diberikan Al-Taftazani, Al-Razi, Al-Baidhawi dan lain-lain. Baca Ali Aburrazqi, Al-Islam, hlm. 2. Ridha, Al-Khilafah, hlm. 17.
11 Imam berbeda dengan qadhi atau mutawalli yang juga mempunyai kekuasaan akan tetapi berada di bawah kekuasaan imam. Imamah dan imam sering juga digunakan untuk menjelaskan kepemimpinan dalam bidang fiqh, ilmu pengetahuan, dan ibadah terutama shalat.
12 Imamah sama saja dengan nubuwah dan nubuwah sama saja dengan Imamah, kecuali dalam kerja menerima wahyu dan menyampaikannya kepada manusia. Hasan Hanafi, Min Al-Aqidah Ila Al-Tsaurah (Beirut: Maktabah Madbuli, tt) vol. V, hlm. 172.
13 Nashir Ibn Abdilah Ibn Ali Al-Qafari, Mas’alah Al-Taqrib Baina Ahl Al-Sunnah wa Al-Syiah (Riyadh: Dar Thayyibah, 1418 H) cet. V, vol. I, hlm. 322.
14 Al-Mawardi membagi distribusi kekuasaan pusat kepada kekuasaan wilayah ke dalam tiga kategori; 1. Imarah istila’ (distribusi darurat). 2. Imarah istikfa (distribusi terbatas) dan 3. Imarah khasah (distribusi khusus). Abu Hasan Al-Mawardi, Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah wa Al-Wilayah Al-Diniyyah (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, tt) hlm. 35-37.
15 H.R. Ahmad.
16 Al-Asymawi, Al-Khilafah, hm. 167. Menurut Al-Mawardi, ada dua mekanisme pergantian kepemimpinan di dalam Islam. Pertama; dipilih oleh ahl al-hal wa al-‘aqd. Kedua; penunjukan (al’ahd). Mekanisme kedua dibedakan antara penunjukan kepada orang lain dan keluarga (bapak/anak). Dalam hal penunjukan kepada salah satu dari yang pertama maka ada dua pendapat; 1. Diharuskan persetujuan dari ahl al-hal wa al-aqd; 2. Tidak diharuskan persetujuan dari ahl al-hal wa al-aqd (dan ini yang benar menurut Al-Mawardi). Sedangkan penunjukan terhadap salah satu dari yang kedua maka ada tiga pendapat; 1. Seorang imam tidak bisa melakukan baiat dengan sendirinya, akan tetapi dengan persetujuan ahl al-hal wa al-‘aqd, 2. Seorang imam bisa melakukan baiat dengan sendirinya karena ia merupakan pemimpin yang efektif kepemimpinannya, 3. Diperbolahkan bait dengan sendirinya kepada bapaknya sendiri akan tetapi bukan kepada anak karena kecenderungan emosional seseorang lebih berat kepada anak daripada kepada orang tua. Al-Mawardi, Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, hlm. 11-12. Pendapat Al-Mawardi tentang mekanisme penunjukan ini bukan merupakan deskripsi sejarah akan tetapi wawasan normatif yan dilandaskan kepada praktik Abu Bakar yang melakukan penunjukan kepada Umar Ibn Al-Khatab. Hanya saja hemat penulis, mekanisme penunjukan kepada orang lain maupun bapak/anak secara mutlak tanpa persetujuan ahl al-hal wa al-aqd dengan pendasaran terhadap praktik Abu Bakar ini kurang kuat atas beberapa pertimbangan; 1. Bertentangan dengan hadits Nabi yang mengajarkan musyawarah, apalagi dalam hal sepenting ini. 2. Hanya ada satu atsar yang diriwayatkan dalam hal ini, ada kemungkinan Abu Bakar telah mengajak bermusyawarah dengan beberapa sahabat meski tidak secara resmi membentuk tm sebagaimana Umar Ibn Khathab ketika hendak merumuskan penggantinya. 3. Perlu dianalisis latar belakang Al-Mawardi menjelaskan perbedaan-perbedaan pendapat yang sedemikian beragam dalam konteks negara yang represif saat itu. Ia hidup pada masa kepemimpinan Abbasiyah yang dipegang oleh Al-Qadir Billah. Al-Mawardi sendiri berwasiat supaya buku yang ditulisnya tidak diterbitkan kecuali setelah dirinya meninggal dunia. Untuk membaca konteks sosio-politik di mana Al-Mawardi hidup bisa dibaca: Jalal Syaraf, Al-Fikr Al-Siyasi, hlm. 2
17 Demokrasi sebagai al-hukm li al-sya’bi seringkali dipertentangan dengan hakimiyyatullah yang menjadi dasar syariah Islam. Padahal seharusnya demokrasi dipertentangkan dengan al-hukm li al-fard yang merupakan faktor pembentuk diktatorianisme (asas al-diktaturiyyah). Muhammad Yusuf Al-Qaradhawi, Min Fiqh Al-Daulah fi Al Islam (Kairo, Dar Al-Syuruq, 2005) cet. IV, hlm. 139. Demokrasi yang berarti kekuasaan rakyat merupakan hak dari Allah SWT yang dilimpahkan kepada manusia. Maka dalam konsep Islam, kekuasaan penguasa tidak lah berarti kekuasaan ketuhanan (sulthah ilahiyyah) akan tetapi kekuasaan rakyat yang secara terbatas dipercayakan kepadanya. Al-Sanhuri, Al-Khilafah, hlm. 69.
18 Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat; Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 2003) hlm. 14.
19 Ibid., hlm. 12. Spanyol telah jatuh ke tangan umat Islam pada dasawarsa pertama abad ke 8. Di samping Spanyol, semua wilayah Afrika Utara dari Tangier di pantai Atlantik sampai Mesir dan Laut Merah, Sardinia, sebagian Sisilia dan seluruh Timur Tengah membentang ke utara sampai pegunungan Kauskasus, Ural dan Yordania; ke timur meliputi kawasan-kawasan Punjab, Sind dan Gujarat di India, ke timur laut meliput Ferghana, ke selatan meliputi seluruh semenanjung Arabia dan ke Barat samapi ke Perbatasan Byzantine.
20 Nakosteen, Kontribusi, hlm. 15. Baca juga Adam Mez dalam Al-Hadharah Al-Islamiyyah fi Al-Qarni Al-Rabi Al-Hijri (Kairo: Mathba’ah Lajnaj Al-Ta’lif wa Al-Tarjamah wa Al-Nasyr, 1957)
21 Al-Asymawi, Al-Khilafah, hlm. 40.
22 Al-Syatibi menggunakan redaksi yang lebih tepat untuk melakukan kategorisasi ini dengan redaksi kalimat yang dituliskannya, “Al-ashlu fī al-ibādāt bi al-nisbah ila al-mukallaf al-ta‘abbud dūna al-iltfāt ilā al-ma‘āni, wa al-ashlu fī al-‘adāt al-iltifāt ilā al-ma‘āni.” Penggunaan kata al-ashlu mengindikasikan adanya kemungkinan pengecualian. Kemudian penggunaan redaksi al-mukallaf menjelaskan tidak terlihatnya ‘illah hanyalah berlaku bagi manusia, adapun bagi Allah Swt., segala syariatnya sudah barang tentu mempunyai hikmah dan tujuan. Nu’man Jughaim, Thuruq Al-Kasyf ‘An Maqāshid Al-Syarī‘ah (Beirut: Dar Al-Nafais, 2002), hlm. 161. Para pengusung khilafah biasanya tidak membedakan antara dimensi keagamaan yang bersifat statis (al-tsabit)seperti halnya dasar-dasar akidah dan ibadah dengan dimensi keagamaan yang bersifat dinamis (al-mutahawwil) seperti halnya muamalah dan politik. Dimensi keagamaan yang bersifat statis tidak bisa dirubah, sedangkan dimensi keagamaan yang bersifat dinamis bisa saja dirubah dan dikembangkan.
23 Al-Asymawi, Al-Khilafah, hlm. 394. Baca juga Farij Wajdi, Dairah Al-Ma’arif, vol. III, hlm. 743-744.
24 Ali Abdurraziq, Al-Islam wa Ushul Al-Hukm; Bahsun fi Al-Khilafah wa Al-Hukumah Al-Islamiyyah (Kairo: Mathba’ah Mishr, 1925) cet. III, hlm. 55.
25 Al-Sanhuri, Khilafah, hlm. 352. Fahmi Huwaidi, Muwathinun la Dzimmiyyun (Kairo: Dar Al-Syuruq, 1999) hlm. 110.
26 Al-Sanhuri, Khilafah, hlm. 286. Al-Qaradhawi, Min Fiqh Al-Daulah, 139. Al-Qaradhawi juga menggagas Daulah Islamiyah akan tetapi bukan Daulah Diniyah. Daulah Islamiyah adalah sebuah pemerintahan yang disandarkan pada prinsip keislaman dan penerjemahannya dalam berbagai bidang sedangkan Daulah Diniyah adalah sebuah pemerintahan dengan kepemimpinan mutlak yang mengatasnamakan agama. Al-Qaradhawi, Min Fiqh Al-Daulah, hlm. 56.
27 Al-Sanhuri, Khilafah, hlm. 287.
28 Hasan Hanafi, Khishar Al-Zaman (Kairo: Markaz Al-Kitab Li Al-Nasyr, 2004) cet. I, hlm. 422-423.
29 Mesir memperoleh kemerdekaannya dari Inggris pada tahun 1922. Irak merdeka secara formal pada tahun 1932. Syria, Yordania dan Libanon pada tahun 1946. Libya merdeka dari Perancis pada tahun 1951. Sedangkan Sudan dan Maroko merdeka dari Perancis pada tahun 1956. Aljazair merdeka dari Perancis pada tahun 1962, dalam waktu hampir bersamaan dengan Yaman Utara, Yaman Selatan dan Emirat Arab. Malaysia merdeka dari Inggris pada tahun 1957 dan Brunei Darussalam merdeka dari Inggris pada tahun 1984.
30 Hanafi, Khishar, hlm. 422-423.
31 Hasan Hanafi, Qadhaya Muashirah fi Al-Fikr Al-Gharbi Al-Muashir (Kairo: Dar Al-Fikr Al-Arabi, tt) hlm. 423.
32 Hanafi, Qadhaya Muashirah, hlm. 425.
-PAKDOE ALLAN -
Prolog
Khilafah Islamiyah tidak tumbang dengan sendirinya. Perang dunia pertama, di mana Utsmaniyah (1517 – 1924 M) sebagai pewaris Khilafah Islamiyah setelah Umayyah (661 – 750 M) dan Abbasiyyah (754 -1517 M)1 bergabung dengan Jerman untuk melawan Inggris dan Perancis adalah penyumbang terbesar ambruknya dinasti ini. Sebagai imperium besar yang kalah bermain strategi politik dan kalah perang, bukan hanya wilayah-wilayah bagian yang menjadi sasaran pencaplokan negara pemenang, akan tetapi wilayah sentral pun berusaha dijajah, dikuasai dan dipengaruhi. Jika tidak secara geografis maka secara politis.
Adalah Mustafa Kemal Attaturk dengan kekuatan organisasinya, Turki Muda, membubarkan Khilafah Islamiyah ketika Sultan Abdul Hamid II masih sebagai penguasa. Sejak saat itu, tepatnya tanggal 3 Maret 1924, Khilafah Islamiyah yang sudah menapakkan jejak sejarah hampir 13 abad, secara resmi dibubarkan. Sebuah peristiwa yang secara de facto menghapus Khilafah Islamiyah dari dunia Islam. Mustafa Kemal kemudian menjadi sosok historis yang misterius. Sebagian kalangan yang mengenang Khilafah Islamiyah dengan tinta emasnya di segenap lini peradaban menilai Mustafa Kemal sebagai pengkhianat dan antek zionis. Sebalikya, kalangan yang memandang Khilafah Islamiyah sebagai makhluk diktator, despotis dan korups menilai Mustafa Kemal sebagai sang pencerah.
Kekalahan politik bukan lah faktor tunggal bangrutnya Utsmaniyah. Sebagaimana dinasti Abbasiyah di Baghdad dan Umayah di Spanyol, segudang faktor internal turut menentukan. Khilafah Islamiyah memang menjanjikan prinsip-prinsip ideal seperti Al-Syura (musyawarah), al-adalah (keadilan), al-musawah (persamaan),2 akan tetapi prinsip-prinsip dasar ini seringkali tidak diejawentahkan dalam bingkai praktik Khilafah Islamiyah. Utsmaniyah pun mengalami anomali sama dengan Abbasiyah.3 Terlepas dari gambaran positif di sisi lainnya, Umayah, Abbasiyah dan Utsmaniyah adalah lukisan nyata sebuah imperium yang otoriter, despotis, korups, dan terpecah belah.
Di samping itu, Utsmaniyah yang menuhankan militerisme menyebabkan tidak bergairahnya ilmu pengetahuan dan mewabahnya kebodohan. Di samping itu, luas wilayah yang hampir seluruhnya merupakan capaian-capaian militeristik menyebabkan ketakberdayaan Utsmaniyah untuk menjangkau dan mengurusinya. Lagi-lagi, sebagaimana Baghdad era Abbasiyah, Turki era Utsmaniyah hanya menjadi sentral kekuasaan yang bersifat simbolistik, sedangkan kekuasaan real dimiliki penguasa wilayah yang siap memanfaatkan kelemahan kekuasaan sentral dan bahkan mensubversi pemerintahan.
Khilafah Islamiyah, bagaimanapun, merupakan wacana yang teramat penting dilihat dari sisi mana merupakan sentral sejarah Islam yang telah berjalan selama hampir 13 abad. Sebuah tema baru rupanya mulai diintrodusir secara serius dalam khazanah fikih kita, yaitu Fikih Khilafah (Fiqh Al-Khilafah). Fokus kajian fikih yang akhirnya menjadi bagian dari tema besar Fikih Politik (Al-Fiqh Al-Siyasi). Tulisan ini secara sederhana akan berusaha menganalisis fenomena Khilafah Islamiyah yang selama ini marak dikampanyekan di Indonesia oleh salah satu gerakan Islam dan relevansinya untuk diterapkan pada masa sekarang.
Khilafah, Imamah, Daulah dan Syura; Problem Definisi
Benar Muhammad Said Al-Asymawi. Mengkaji khilafah, ibarat menyelam dalam banjir bandang atau ibarat melangkah di atas jalanan beranjau.4 Bisa saja seseorang gagal memahami seluk beluk dan hakikat khilafah setelah masuk ke dalam pengertiannya yang absurd. Khilafah adalah nomenklatur yang digunakan dengan pengertian yang berbeda. Sebagian tidak membedakan antara khilafah kenabian dan khilafah ketuhanan, antara khilafah sebagai konsep normatif dengan realitas historis, antara khilafah sebagai bentuk pemerintahan multi-nasional dengan daulah islamiyah atau nation-state, dan antara khilafah sebagai bentuk pemerintahan multi-nasional dengan syura sebagai sistem pemerintahan.
Secara etimologis, dalam beberapa literatur bahasa, khilafah merupakan derivasi kata kerja khalafa yang berarti datang kemudian, kebalikan dari salafa atau taqaddama yang berarti telah berlalu. Dalam Al-Qur’an, berbagai derivasi kata khalafa digunakan dengan arti yang berbeda-beda seperti khalf, khalifah, khilaf, ikhtilaf, khalfah, yakhlif, akhlafa, yastakhlif dan lainnya.5 Dari sekian makna etimologis yang digunakan Al-Quran, tidak satupun mengindikasikan adanya makna pemerintahan Islam sebagaimana sekarang khilafah dipahami sebagian kelompok Islam. Di dalam Al-Qur’an kata khalifah disebutkan dua kali6 dan tidak satu pun dari keduanya mengindikasikan makna pemimpin pemerintahan.7
Sedangkan secara terminologis, definisi khilafah yang sekarang ini sering digunakan, justru diambil dari pengertian Al-Mawardi tentang Imamah. Imamah menurut Al-Mawardi adalah kepemimpinan yang dibentuk untuk menggantikan peran kenabian (khilafah al-nubuwah) dalam menjaga perkara agama (hirasah al-din) dan mengatur hal ihwal dunia (siyasah al-dunya).8 Definisi ini mengindikasikan eksistensi pemerintahan dalam Islam. Definisi yang diberikan ulama-ulama Islam selanjutnya hampir sama dengan yang dikemukakan Al-Mawardi.9 Sedangkan pengertian pemerintahan Islam multi-nasional yang dipahami Al-Nabhani dan pengikutnya pada masa sekarang ini, barangkali secara implisit tercakup dalam redaksi khilafah al-nubuwah. Rasyid Ridha pun dalam Al-Khilafah yang terbit pertama kali pada tahun 1922 M, akhirnya menegaskan khilafah Islamiyah sebagai kepemimpinan negara Islam multi-nasional (al-jami’ah) untuk memelihara kemaslahatan agama dan dunia.10
Sedangkan imamah, secara bahasa berarti kepemimpinan. Imam adalah orang yang mempunyai kekuasaan tertinggi.11 Meski sudah menjadi sebuah nomenklatur madzhab Syiah, akan tetapi madzhab Sunni tetap menggunakan terma imamah semakna dengan khilafah. Sinonimitas lain adalah al-zi’amah. Imamah digunakan untuk menjelaskan ideologi pemerintahan Syiah yang bisa jadi menghindari terminologi khilafah sebagai ideologi pemerintahan Sunni. Ada beberapa similiaritas di samping diferensiasi atau bahkan kontradiksi konseptual antara keduanya. Di satu sisi madzhab Sunni dan Syiah sama-sama memposisikan khilafah dan imamah sebagai pengganti peran kenabian,12 tapi di lain sisi Sunni tidak mengakui prinsip-prinsip ishmah al-imam, taqiyyah, raj’ah, bida’, ghaibah dan lain sebagainya .13
Adapun daulah adalah nomenklatur yang digunakan untuk menjelaskan konsep negara baik dalam bentuk pemerintahan nasional maupun multi-nasional. Dalam sejarah perkembangan Khilafah Islamiyah, pemerintahan multi-nasional bisa disebut Daulah Islamiyah sedangkan pemerintahan “nasional” biasanya disebutkan duwailah atau imarah. Meskipun dilihat dari perspektif penguasa sentral, duwailah sebenarnya adalah negara bagian. Secara de jure, duwailah adalah sebuah zona kekuasaan di bawah payung khilafah, meski secara de facto kekuasaan efektif dimiliki duwailah-duwailah itu yang bahkan, dalam kasus tertentu, mempunyai kekuatan subversif terhadap khilafah sebagai pemerintahan sentral.14
Sedangkan syura lebih tepat disandingkan, dalam perkembangan selanjutnya, dengan demokrasi. Syura adalah satu-satunya sistem pemerintahan dalam Islam yang sudah diterapkan semenjak awal Islam. Nabi Muhammad menerapkannya dalam tata kelola pemerintahan sehari-hari. Nabi Muhammad pernah mengatakan, “Jika kalian berdua (Abu Bakr dan Umar) bersepakat maka saya tidak akan mengingkari kalian.”15 Sahabat menerapkan prinsip ini dengan mekanisme yang berbeda dalam suksesi kepemimpinan Khulafa Al-Rasyidun. Umar Ibn Al-Khatab pernah mengatakan,”Barang siapa melakukan baiah kepada seseorang tanpa musyawarah umat Islam maka tidak lah absah...”.16 Sedangkan demokrasi lahir di Yunani dan kemudian menjadi wacana politik di Barat Modern. Demokrasi baru dikenal Islam abad XIX M, ketika syura sudah lama menghilang dalam sejarah dan kesadaran umat Islam.17
Khilafah Islamiyah; Schizophrenia!
Islam memang berhasil mengukir sejarah gemilang yang cukup panjang. Islam tidak hanya sukses bermain cantik di kancah geo-politik akan tetapi juga menorehkan tinta emas di lembar paradaban intelektual. Dalam kancah geo-politik, dalam jangka waktu yang kurang dari satu abad, Islam telah mengembangkan kekuasaan politiko-religius dalam sebuah wilayah, yang luasnya hanya bisa diimbangi oleh Kekaisaran Romawi. Bahwa agama Islam telah menyebar dalam waktu yang sedemikian singkat di tiga benua, dan berhasil membawa dunia di bawah satu sistem agama, satu bentuk pemerintahan dan satu cara hidup.18
Bisa dibaca selama abad VII dan ke VIII M, Umayah dan Abbasiyah telah mengurangi wilayah Byzantine di Timur. Begitupun kekaisaran Persia Sasanian menghadapi kekalahan total. Hajjaj Ibn Yusuf telah bergerak dari Persia ke India; Musa Ibn Nushair atas perintah dari Damaskus bergerak ke arah barat dari Mesir melalui Afrika Utara ke Qayrawan, dan ke arah barat terjauh yaitu Maghrib, menundukkan Berber di sepanjang perjalanan ke Tangier dan ke pantai Atlantik; Thariq Ibn Ziyad telah melintasi selat ke Spanyol atas perintah Ibn Nushair pada tahun 711 M. Di bawah pemimpin-pemimpin baru, Arab dan Berber bergerak menuju semenanjung Iberia ke arah Pyrenees dan Gaul. Spanyol telah ditaklukkan, dan pada tahun 732 M tentara-tentara Islam yang dipimpin oleh Abdurrahman telah bergerak ke arah Pyreness Barat dan menyelesaikan pengepungan Afrika Utara dan Eropa.19
Di level peradaban intelektual, pemerintahan Umayah mengusung toleransi dan universalitas pengetahuan dengan membiarkan ilmu pengetahuan yang berasal dari tradisi Helenistik tumbuh subur di Syiria; sekolah-sekolah Kristen, Sabian dan Persian berkembang di Alexandria, Beirut, Jundi-Shaur, Nisibis, Harran dan Antioch. Pemerintahan Abbasiyah megikuti saja jejak Umayah, menggalakkan penerjemahan karya Yunani ke dalam bahasa Arab. Bahkan seringkali penerjemahan tersebut dilakukan orang-orang Yahudi dan Kristen Nestorian. Al-Makmun pada tahun 830 M mendirikan pusat riset dan penerjemahan yang dinamakan Baitul Hikmah di mana penerjemahan dari bahasa Syria, Yunani, Sanskerta dan Pahlavi sampai abad X M terus berjalan. Di antara penerjemah besar dan penghimpun buku pada awal-awal abad kebudayaan Islam adalah Ishah Ibn Hunain. Dalam terjemahannya memasukkan karya-karya Aristoteles, Galen, Plato, Hippocrates, Dioscorides, Ptolemy dan Alexander dari Aphrodisias. Karya-karya Al-Khawarizmi dan Al-Biruni juga merupakan karya-karya penting. Al-Biruni menyusun tabel astronomi, memperkenalkan angka hindu, merumuskan tabel-tabel trigonometri dan bekerja sama dengan enampuluh cendekiawan lain menyusun ensiklopedi geografis.20
Menyaksikan dengan sepenuh emosi runtuhnya capaian luar biasa Khilafah Islamiyah menyebabkan kemirisan rasa yang tiada tara. Buku-buku sejarah Islam pun barangkali ditulis oleh para sejarawan muslim itu dengan linangan air mata, ketika mengisahkan runtuhnya Baghdad atau barangkali Cordova dan Turki. Sebagian umat Islam belakangan, ketika dihadapkan pada posisi umat Islam yang serba “asfala safilin”, tiba-tiba saja mengenang keindahan dan kebesaran masa lalu, sebuah romantisme sanggup menanggalkan segenap kepahitan dan kebobrokan di lain sisi sebagai penyebab mereka mengindap sindrom schizophrenia.
Pengusung Khilafah Islamiyah, menurut Asymawi, adalah pengidap sindrom schizophrenia, kondisi psikopatologis di mana manusia terdorong mengingat-ingat bagian-bagian masa lalu dan melupakan bagian-bagian lainnya. Ingatan nostalgis masa lalu itu kemudian berubah menjadi bayangan-bayangan yang memengaruhi bagaimana seseorang berpikir. Penderita penyakit ini, biasanya terputus dari pengamatan dunia luar, mengarah kepada dunia imaginasi, khayal dan mimpi21 yang kadang tidak mungkin nyata lagi. Para pengusung Khilafah Islamiyah, mengingat dan mewiridikan kejayaan Khilafah Islamiyah di satu sisi, tapi di lain sisi melupakan kelemahan, kepahitan dan kegetiran cukup lama yang disebabkan olehnya. Khilafah Islamiyah yang sesungguhnya merupakan konsep dinamis dan profan, menjadi konsep statis yang eternal.22
Dari Wahdah Al-Daulah Menuju Wahdah Al-Ummah
Setelah Utsmaniyah dibubarkan oleh Mustafa Kemal Attaturk dunia Islam mengalami kekosongan kepemimpinan. Beberapa pemimpin wilayah Islam pada waktu itu berusaha menggadang khilafah dengan sentralitas baru. Amir Husain, pemimpim Makkah Al-Mukarramah yang mewarisi Masjid Al-Haram sebagai sentral ibadah umat Islam, dan Raja Fuad di Mesir sebagai negara Arab terbesar dan mempunyai lembaga keagamaan dengan otoritas terbesar di dunia Islam yaitu Al-Azhar Al-Syarif, adalah dua di antara pemimpin Islam yang menginginkan tampuk kepemimpinan Khilafah Islamiyah baru.
Dalam hiruk pikuk percaturan politik internal maupun intervensi eksternal yang ricuh, muncul pandangan-pandangan kontroversial justru dari dalam Al-Azhar. Ali Abdurraziq, seorang ulama Al-Azhar, menganggap Khilafah Islamiyah sebagai konsep historis dari politik Islam yang bisa saja dirubah dan bukan konsep idealis yang paten. Ia juga berpandangan bahwa kepemimpinan Nabi Muhammad SAW berlandaskan dasar-dasar kepemimpinan yang sudah ada pada masa pra Islam. Nabi Muhammad tidak merujuk wahyu Al-Qur’an dalam hal ketatanegaraan dan tidak bertendensi membentuk pemerintahan Islam.23 Lebih dari itu, kepemimpinan Nabi Muhammad dalam hal politik pemerintahan bukan bagian dari skenario wahyu.24 Ia lebih merupakan seorang juru dakwah pembawa peringatan dan berita gembira, daripada tokoh politik.
Abdurraziq menuliskan gagasan yang mengagetkan seluruh umat Islam itu dalam sebuah buku berjudul Al-Islam wa Ushul Al-Hukm yang terbit pertama pada tahun 1925 M, satu tahun setelah tumbangnya Khilafah Islamiyah. Pada tahun yang sama, seorang sarjanawan Mesir bernama Abdurrazaq Al-Sanhuri baru memulai program doktor untuk kedua kali dengan judul disertasi cukup menantang, Al-Khilafah wa Tathawwuruha li Tushbiha Ashabata Umamin Syarqiyyah. Disertasi ini baru terbit pertama dalam edisi Perancis pada tahun 1926 dan baru terbit dalam edisi Arab pada tahun 1988. Hemat penulis, buku ini merupakan jalan tengah antara pendapat Abdurraziq yang menihilkan sama sekali dimensi politik Islam dalam pewahyuan dan gerakan Islam kontemporer yang menuhankan Khilafah Islamiyah sebagai satu-satunya kepemimpinan Islam yang ideal.
Setelah seperempat abad buku Al-Islam wa Ushul Al-Hukm beredar, lahir sebuah buku dengan nada yang sama. Buku dengan nuansa kritik tajam terhadap konsep dan eksistensi Khilafah Islamiyah lagi-lagi justru ditulis oleh seorang ulama Al-Azhar, Khalid Muhammad Khalid. Ia menuliskan gagasannya dalam sebuah buku berjudul Min Huna Nabda‘ yang nantinya akan mendapatkan perlawanan dari Muhammad Al-Ghazali, seorang ulama kharismatik Al-Azhar dalam bukunya Min Huna Na’lam. Meski akhirnya, tidak seperti Abdurraziq yang memegang kuat-kuat pemikirannya, Muhammad Khalid menuliskan sebuah buku, Al-Daulah fi Al-Islam, sebagai sikap rujuk pemikiran dalam buku sebelumnya.
Selain Al-Sanhuri dan Muhammad Al-Ghazali, dalam rangka merespon pemikiran Abdurraziq dan Muhammad Khalid, Muhammad Bakhit Al-Muthi’i juga merasa perlu untuk menulis Haqiqah Al-Islam wa Ushul Al-Hukm, Muhammad Khadar Husain juga menulis Naqdu Kitab Al-Islam wa Ushul Al-Hukm. Tidak hanya sebatas perdebatan di level wacana dan pemikiran, Abdurrraziq harus menerima ‘kutukan’ Al-Azhar ketika institusi ini secara resmi mengeluarkan keputusan pemecatan dirinya dari segenap jabatan di Al-Azhar, dicabutnya gelar akademik yang disandangnya, dikeluarkan dari korps ulama Al-Azhar (zumrah al-ulama) dan dengan begitu tidak berhak untuk mengisi kuliah formal maupun non formal di lembaga pendidikan dan masjid-masjid di bawah Al-Azhar.
Setelah itu, buku-buku dengan nuansa fikih politik tumbuh subur bak jamur di musim hujan, baik dengan nuansa pemikiran yang cenderung pro maupun kontra konsep Khilafah Islamiyah. Abdul Wahab Khalaf, Ali Al-Khafif, Muhammad Al-Banna, Abdurrahman Tag, menulis buku dengan judul yang sama yaitu, Al-Siyasah Al-Syar‘iyyah. Muhammad Yusuf Musa, Shadiq Arjun, Abdullah Al-Arabi, Ahmad Huraidi, dan Al-Nabhani menuliskan buku dengan judul yang sama pula yaitu, Nidham Al-Hukm fi Al-Islam. Abu Faris dan Salim Al-Awa juga menulis buku dengan judul yang sama yaitu, Al-Nidham Al-Siyasi fi Al-Islam.
Buku-buku dengan judul yang berbeda juga sedemikian suburnya, di antaranya Minhaj Al-Islam fi Al-Hukm karya Muhammad Asad, Al-Nadhariyyat Al-Siyasiyyah Al-Islamiyyah karya Dhiyauddin Al-Rays, Al-Sulthat Al-Salas fi Al-Dasatir Al-Arabiyyah Al-Muashirah wa fi Al-Fikr Al-Siayasi Al-Islami karya Sulaiman Thamawi. Pendiri Ikhwan Al-Muslimin, Hasan Al-Banna, juga merasa perlu menulis sebuah buku berjudul Musykilatuna fi Dhaui Al-Nidham Al-Islami, sedangkan Sayid Qutb, cukup produktif dengan menuliskan, Al-Salam Al-Alami wa Al-Islam, Al-Adalah Al-Ijtimaiyyah fi Al-Islam dan Ma’arakah Al-Islam wa Ra’s Al-maliyah.
Sedangkan beberapa buku buah karya ulama kontemporer bisa disebutkan misalnya, Al-Islam wa Al-Siyasah wa Al-Sulthah wa Al-Ilmaniyyah karya Muhammad Imarah, Al-Qur’an wa Al-Sulthan dan Muwathinun La Dhimmiyun karya Fahmi Huwaidi, Fiqh Al-Syura wa Al-Istisyarah karya Taufiq Al-Syawi, Al-Syura wa Dimuqrathiyyah karya Humaid Al-Anshari, Riasah Al-Daulah fi Al-Fiqh Al-Islami karya Ra’fat Ustman dan Ahkam Al-Dhimmiyyin wa Al-Musta’minin karya Abdul Karim Zaidan. Karya-karya tersebut hanya sebagian dari karya-karya yang berbicara pemerintahan Islam, belum termasuk karya-karya yang berbicara tema-tema penyerta seperti, al-jihad, al-salam, alaqah dauliyah, dan lain sebagainya.
Di antara deretan buku-buku yang ada, buah karya Al-Sanhuri terlihat spesial karena menawarkan gagasan besar yang genuin. Gagasan itu berupa perlunya membangun solidaritas umat Islam untuk menggantikan eksistensi Khilafah Islamiyyah. Al-Sanhuri menjelaskan lebih lanjut bahwa konsep solidaritas umat Islam memegang prinsip wahdah al-ummah yang tidak ditali dengan batas-batas agama dan nasionalisme akan tetapi siapa dan di mana saja yang bersedia tunduk pada prinsip-prinsip yang menjadi kesepakatan bersama yang sesuai dengan ajaran Islam.25 Al-Sanhuri tidak mengingkari bahwa Khilafah Islamiyah, terlepas torehan sejarah positif dan negatifnya, merupakan sebuah sistem yang ideal dalam rangka dakwah Islam. Dan itu dibuktikan oleh Khulafa Al-Rasyidun. Al-Sanhuri juga tidak mengingkari bahwa Nabi Muhammad diutus bukan hanya sebagai juru dakwah tetapi juga juru politik yang terkait dengan sistem dan tata kelola pemerintahan. Akan tetapi, Al-Sanhuri memahami bahwa Khilafah Islamiyah yang diartikan sebagai negara Islam multi-nasional bukan lah konsep statis akan tetapi konsep dinamis yang bisa berubah. Al-Sanhuri menawarkan perspektif bagaimana merubah konsep Khilafah Islamiyah sebagai wahdah al-daulah (kesatuan negara) menuju wahdah al-ummah (kesatuan umat) dengan mewujudkan sebuah lembaga multi-nasional yang akan memperjuangkan prinsip-prinsip Islam di belahan dunia manapun.
Al-Sanhuri juga secara lebih tegas berpendapat, bahwa pemerintahan Khulafa Al-Rasyidun sebenar-benarnya adalah bentuk pemerintahan republik dengan sistem demokrasi. Bentuk pemerintahan republik ini dalam hal mekanisme pergantian kepemimpian diterjemahkan sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi. Doktrin Islam dibedakan antara dimensi ajaran yang bersifat statis dan eternal dengan dimensi ajaran yang bersifat dinamis dan profan. Dimensi ajaran yang statis dan eternal adalah bahwa bentuk pemerintahan harus lah bersandar kepada kesepakatan rakyat melalui mekanisme syura, sedangkan dimensi ajaran yang bersifat dinamis dan profan adalah mekanisme pergantian kepemimpinan.26
Pemerintahan Khulafa Al-Rasyidun juga dipandang Al-Sanhuri, sebagaimana selanjutnya diperjuangkan oleh seorang ulama moderat yang otoritatif, Muhammad Yusuf Al-Qaradhawi, sebagai pemerintahan sistem demokrasi. Seorang khalifah tidak mempunyai kekuasaan mutlak. Dalam arti, khalifah harus lah dikawal oleh rakyat yang menjalankan fungsi kontrol dan evaluasi. Hal ini merupakan prinsip dasar dalam sistem demokrasi modern. Benar bahwa dua fungsi rakyat ini (kontrol dan evaluasi) belum sampai kepada detail mekanistik sebagaimana yang sekarang ada. Hal ini memang berkembang sesuai dengan pergeseran ruang dan waktu. Khulafa Al-Rasyidun menempatkan diri mereka sebagai orang yang dipercaya atas masalah keuangan negara dan bertanggungjawab atas kesalahan dan penyelewengan. Mereka bermusyawarah dengan rakyat dan tunduk pada pengawasan. Mereka juga dibatasi kewajiban menaati hukum dan memperjuangkan keadilan.27
Terlepas dari kritik banyak kalangan yang mengkhawatirkan solidaritas umat Islam ala Al-Sanhuri berbau islamisme, dalam peta percaturan dunia global dengan pertimbangan geo politik yang ada, dibutuhkan jalan tengah antara Khilafah Islamiyah yang mengandung prinsip dasar persatuan umat Islam dan arus nasionalisme yang meniscayakan negara bangsa (nation-state). Al-Asymawi dan Al-Sanhuri sama-sama tidak setuju dengan Ali Abddurraziq yang mereduksi doktrin Islam tidak mengajarkan dasar-dasar politik, akan tetapi keduanya berbeda pendapat mengenai Khilafah Islamiyah. Jika Al-Asymawi menganggap negara bangsa adalah bentuk pemerintahan final untuk saat ini, maka Al-Sanhuri menawarkan gagasan supaya wahdah al-daulah dalam bingkai Khilafah Islamiyah ditransformasikan menjadi wahdah al-ummah dalam bingkai negara bangsa dengan membentuk organisasi solidaritas umat Islam sejagad.
Tidak diketemukan satu sejarah yang sama bagi budaya yang berbeda-beda di dunia. Setiap budaya mempunyai sejarah dan periodenya sendiri. Apabila kita menempatkan diri di abad pertengahan Barat, maka kebudayan Islam sedang menempuh periodenya yang berbeda dari Barat, sebuah masa keemasan (al-‘ashr al-żahabi) ketika ilmu-ilmu keislaman bertumbuh kembang dan sempurna pada tujuh abad pertama. Fase tujuh abad kedua bagi Islam adalah periode stagnasi dengan dominasi kebudayaan pada level pengembangan tradisi al-syurukh wa al-mulakhashat yang mengurangi tradisi penemuan baru (ijtihad). Periode stagnasi ini terjadi terutama pada masa Utsmaniyah ketika kebudayaan cukup hanya dengan mewiridkan masa lalu.28
Periode modern Islam dimulai ketika gerakan independensi negara-negara Islam menyeruak di abad XIX.29 Tiga aliran pemikiran pembaruan mengemuka; reformasi keagamaan Jamaluddin Al-Afghani, Liberalisme Al-Thahthawi dan sekulerisme ilmiah Syibli Syumail. Ketika Barat sekarang berada pada penghujung modernisme maka kita sedang memulainya. Kita berada pada fase reformasi keagamaan dan kebangkitan, sedang Barat sudah melewatinya di tangan Martin Luther King dan John Calvin, kebangkitan di tangan Geordano Bruno semenjak abad ke XV dan XVI. Fenomena ini tidak menggambarkan superioritas maju dan mundurnya sebuah bangsa, tapi itulah perjalanan sejarah dan perbedaan periodesasi.30
Sebagaimana Karl Kasper, Hasan Hanafi memandang bahwa era modern adalah periode ekspansi Eropa dan telah empat abad berjalan. Ketika perang dunia pertama membatasi interaksi antara negara-negara Eropa sendiri, maka terjadilah ledakan ekspansi ke arah Timur. Yaitu ketika Eropa sama-sama mempunyai satu kebudayaan, agama dan bangsa sedangkan bangsa-bangsa selain Eropa berada dalam kefakuman budaya dan tercerai berai di mana saja.31 Kolonialisme Barat dengan segenap visi primordialisme, agama dan ekonomi, setelah sekian lama harus menyerah di bawah gerakan independensi negara-negara Timur. Eropa lalu kehilangan negara-negara jajahan, kekayaan dan sumber daya yang dimilikinya lalu segera memancang dasar dan bentuk imperialisme baru. Dalam benak mereka, apabila tekonologi adalah penyebab keberhasilan imperialisme gaya konvensional maka rasionalitas adalah senjata yang akan meletakan negara-negara Timur di bawah ketiak imperialisme baru. Kasper mendefiniskan rasionalitas ini lebih jelas dengan bentuk wacana-wacana perdamaian, toleransi, dan pluralisme yang mampu menentramkan negara-negara Timur yang diam-diam terus dijarah kekayaannya. Maka Kasper dengan tegas merubah konsep imperialisme itu, dari imperialisme militeristik ke arah imperialisme pemikiran dan kekayaan negara atas nama kerja sama dan keteraturan dunia.32
Epilog
Dihadapkan pada kondisi umat Islam yang terpecah belah dan tidak mempunyai garis kepemimpinan yang menentu, maka gagasan Al-Sanhuri untuk mentransformasikan konsep Khilafah Islamiyah – terlepas dari kebekuan sebagian kelompok umat Islam di dalam melihat dan menilainya – ke arah bentuk persatuan dan solidaritas umat Islam dengan menyelenggarakan organisasi multi-nasional sangat lah relevan. Dalam hal ini, organisasi internasional harus lah didasarkan pada semangat persatuan dan solidaritas untuk mewujudkan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam di dalam segenap aspeknya.
Dengan begitu, permasalah khilafah kita tarik ke arah bagaimana mengompromikan antara prinsip khilafah, yaitu kesatuan dunia Islam dengan fakta perkembangan sosial dan politik yang meniscayakan konsep negara bangsa. Bagaimanapun, bentuk negara bangsa tidak bisa dipungkiri telah menjadi kenyataan historis. Dalam Islam pun, mengenai bentuk negara, sebagaimana sebelumnya dijelaskan, merupakan bagian dari dimensi ajaran Islam yang bersifat dinamis dan profan. Akan tetapi tidak bisa dipungkiri pula bahwa Al-Quran dan Al-Sunnah mengajarkan tentang persatuan dan solidaritas umat Islam yang apabila ini kita abaikan akan melanggar dimensi ajaran Islam yang bersifat statis dan eternal, yaitu persatuan (wahdah al-ummah).
Daftar Pustaka
Abdurraziq, Ali. Al-Islam wa Ushul Al-Hukm; Bahsun fi Al-Khilafah wa Al-Hukuman Al-Islamiyyah. Kairo: Mathba’ah Mishr. 1925.
Al-Asymawi, Muhammad Said. Al-Khilafah Al-Islamiyyah. Beirut: Al-Intisyar Al-Arabi. 2004.
Al-Ghazali, Abu Hamid. Ihya’ ‘Ulumiddin. Beirut: Dar Al-Fikr, tt.
Hanafi, Hasan. Khishar Al-Zaman. Kairo: Markaz Al-Kitab Li Al-Nasyr. 2004.
Hanafi, Hasan. Qadhaya Muashirah fi Al-Fikr Al-Gharbi Al-Muashir (Kairo: Dar Al-Fikr Al-Arabi, tt)
Hisyam, Ibn. Al-Sirah Al-Nabawiyyah. Beirut: Dar Al-Ma’rifah, tt.
Huwaidi, Fahmi. Muwathinun la Dzimmiyyun. Kairo: Dar Al-Syuruq. 1999.
Imarah, Muhammad. Ma’rakah Al-Islam wa Ushul Al-Hukm. Kairo: Dar Al-Syuruq. 1989.
Jughaim, Nu’man. Thuruq Al-Kasyf ‘An Maqashid Al-Syari‘ah. Beirut: Dar Al-Nafais. 2002.
Khaldun, Abdurrahman Ibn. Muqaddimah. Kairo: Al-Mathba’ah Al-Syarqiyyah. tt)
Al-Mawardi, Abu Hasan. Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah wa Al-Wilayah Al-Diniyyah. Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, tt.
Mujahid, Huriyah Taufiq. Al-Fikr Al-Siyasi Min Aflathun Ila Abduh. Kairo: Makabah Anjlo Misyriyyah. 1992.
Nakosteen, Mehdi. Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat; Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam. Surabaya: Risalah Gusti. 2003.
Ridha, Muhammad Rasyid. Al-Khilafah. Kairo: Al-Zahra li Al-I’lam Al-Arabi. 1988.
Shobri, Musthafa. Mauqif Al-Aql wa Al-Ilm wa Al-Alam Min Rabb Al-Alamin. Beirut: Dar Ihya Al-Turats Al-Arabi. 1981.
Al-Syahrastani, Abu Bakar. Al-Milal wa Al-Nihal. Beirut: Dar Al-Ma’rifah. 1975.
Syaraf, Muhammad Jalal. Ali Abdul Musthafa Muhammad, Al-Fikr Al-Siyasi fi Al-Islam; Syahsyiyyat wa Madzahib. Iskandariya: Dar Al-Jamiyat Al-Mishriyyat. 1978.
Al-Syawi, Musthafa. Fiqh Al-Syura wa Al-Istisyarah. Manshurah: Dar Al-Wafa li
Al-Thaba’ah wa Al-Nashr. 1992.
Taimiyah, Taqiyyuddin Ibn. Al-Siyasah Al-Syar’iyyah fi Ishlah Al-Ra’i wa Al-Ra’yah. Kairo: Dar Al-Kitab Al-Arabi. 1951.
Al-Qaradhawi, Muhammad Yusuf. Al-Siyasah Al-Syar’iyyah fi Dhai Nushush Al-Quran wa Maqashidiha. Kairo: Maktabah Wahbah. 1998.
Al-Zuhaili, Wahbah. Haq Al-Hurriyyah fi Al-Alam. Damaskus: Dar Al-Fikr. 2000.
Al-Qafari, Nashir Ibn Abdilah Ibn Ali. Mas’alah Al-Taqrib Baina Ahl Al-Sunnah wa Al-Syiah. Riyadh: Dar Thayyibah. 1418 H.
Wajdi, Farij. Dairah Al-Ma’arif Al-Islamiyah. Beirut, Dar Al-Ma’rifah, 1971.
1 Penulis tidak memasukkan period Kenabian (610 – 632 M) dan Khulafa Al-Rasyidun (632 – 661 M) dalam daftar khilafah dengan karena mengacu Abdurrazaq Al-Sanhuri yang membedakan Al-Khilafah Al-Rasyidah dengan Al-Khilafah Al-Naqishah. Terlepas dari Kritik Al-Asymawi, yang hemat penulis agak berlebihan, terhadap upaya kategorisasi ini yang cenderung ingin menutupi Khilafah Islamiyah dari kecacatannya sebagai sebuah model pemerintahan. Baca Muhammad Said Al-Asymawi, Al-Khilafah Al-Islamiyyah (Beirut: Al-Intisyar Al-Arabi, 2004) cet. V, hlm. 399. Lebih dari itu khilafah setelah Khulafa Al-Rasyidun lebih merupakan hasil pengaruh dari sistem kepemimpinan Persia dan Bizantium. Muhammad Jalal Syaraf, Ali Abdul Musthafa Muhammad, Al-Fikr Al-Siyasi fi Al-Islam; Syahsyiyyat wa Madzahib (Iskandariya: Dar Al-Jamiyat Al-Mishriyyat, 1978) hlm. 135.
2 Huriyah Taufiq Mujahid, Al-Fikr Al-Siyasi Min Aflathun Ila Abduh (Kairo: Makabah Anjlo Misyriyyah, 1992) cet. II, hlm. 164.
3 Al-Asymawi membedakan antara konsep normatif dengan konsep historis. Mayoritas umat Islam tidak membedakan antara Khilafah Islamiyah dengan sejarah Khilafah Islamiyah. Maka, menurut Al-Asymawi, penerjemahan konsep normatif tidak harus melalui bentuk kemepimpinan khilafah. Dengan atau tanpa khilafah yang terpenting adalah konsep normatif itu bisa diejawentahkan. Al-Asymawi, Al-Khilafah, hlm. 398.
4 Al-Asymawi, hlm. 26.
5 Farij Wajdi, Dairah Al-ma’arif Al-Islamiyah (Beirut, Dar Al-Ma’rifah, ,1971) vol. I, cet. III, hlm. 742-743.
6 Q.S. Al-Baqarah: 30 dan QS. Shad: 26.
7 Ibn Khaldun mencatat bahwa ketika Abu Bakar memegang tampuk kepemimpinan umat Islam, para sahabat dan umat Islam menjulukinya Khalifatu Rasulillah. Umat Islam juga menjuluki para pemimpin delegasi dakwah Islam dengan julukan Amir. Dari kata Imarah. Masyarakat Jahiliyyah menjuluki Muhammad sebagai Amiru Makkah wa Amiru Al-Hijaz. Umat Islam menjuluki Sa’d Ibn Abi Waqash dengan julukan Amirul Mukminin karena kepemimpinannya atas bala tentara Qadisiyah. Abdullah ibn Jahsy atau Amr ibn Al-Ash menjuluki Khalifah kedua Umar Ibn Al-Khatab dengan julukan Amir Al-Mukminin dan diikuti oleh sahabat yang lain karena dipandang baik. Farid Wajdi, Dairah Al-Ma’arif, hlm. 571.
8 Mujahid, Al-Fikr Al-Siyasi, hlm. 227. Al-Mawardi tidak menjelaskan apapun mengenai apa yang dimaksud dan batasan antara perkara agama dan dunia. Sayangnya, ketika kita melakukan pelacakan terhadap kategorisasi ini tidak menemukan data yang baik untuk melakukan batasan-batasan.
Ihya’ ‘Ulumiddin, buah karya Al-Ghazali yang hidup satu abad setelah Al-Mawardi, barangkali bisa menjelaskan batasan antara ilmu agama (syar’iyyah) dan ilmu dunia (ghair syar’iyyah). Ilmu agama adalah ilmu yang langsung kita warisi dari para Nabi tanpa perantara akal pikiran. Sedangkan ilmu dunia dibagi menjadi dua; bermanfaat (mahmudah) dan tidak bermanfaat (ghair mahmudah). Ilmu dunia yang bermanfaat adalah segala ilmu yang terkait dengan kemaslahatan duniawi seperti ilmu kedokteran, arsitektur, industri, telekomunikasi, kedirgantaraan dan lain sebagainya. Ilm pemerintahan, barangkali bisa dimasukkan dalam kategori yang kedua. Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumiddin (Beirut: Dar Al-Fikr, tt) cet. III, vol. I, hlm. 27-28.
9 Muhammad Rasyid Ridha, Al-Khilafah (Kairo: Al-Zahra li Al-I’lam Al-Arabi, 1988) hlm. 17.
10 Ibid., hlm. 17. Meski definisi ini sudah adalah dalam pengertian yang diberikan Al-Taftazani, Al-Razi, Al-Baidhawi dan lain-lain. Baca Ali Aburrazqi, Al-Islam, hlm. 2. Ridha, Al-Khilafah, hlm. 17.
11 Imam berbeda dengan qadhi atau mutawalli yang juga mempunyai kekuasaan akan tetapi berada di bawah kekuasaan imam. Imamah dan imam sering juga digunakan untuk menjelaskan kepemimpinan dalam bidang fiqh, ilmu pengetahuan, dan ibadah terutama shalat.
12 Imamah sama saja dengan nubuwah dan nubuwah sama saja dengan Imamah, kecuali dalam kerja menerima wahyu dan menyampaikannya kepada manusia. Hasan Hanafi, Min Al-Aqidah Ila Al-Tsaurah (Beirut: Maktabah Madbuli, tt) vol. V, hlm. 172.
13 Nashir Ibn Abdilah Ibn Ali Al-Qafari, Mas’alah Al-Taqrib Baina Ahl Al-Sunnah wa Al-Syiah (Riyadh: Dar Thayyibah, 1418 H) cet. V, vol. I, hlm. 322.
14 Al-Mawardi membagi distribusi kekuasaan pusat kepada kekuasaan wilayah ke dalam tiga kategori; 1. Imarah istila’ (distribusi darurat). 2. Imarah istikfa (distribusi terbatas) dan 3. Imarah khasah (distribusi khusus). Abu Hasan Al-Mawardi, Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah wa Al-Wilayah Al-Diniyyah (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, tt) hlm. 35-37.
15 H.R. Ahmad.
16 Al-Asymawi, Al-Khilafah, hm. 167. Menurut Al-Mawardi, ada dua mekanisme pergantian kepemimpinan di dalam Islam. Pertama; dipilih oleh ahl al-hal wa al-‘aqd. Kedua; penunjukan (al’ahd). Mekanisme kedua dibedakan antara penunjukan kepada orang lain dan keluarga (bapak/anak). Dalam hal penunjukan kepada salah satu dari yang pertama maka ada dua pendapat; 1. Diharuskan persetujuan dari ahl al-hal wa al-aqd; 2. Tidak diharuskan persetujuan dari ahl al-hal wa al-aqd (dan ini yang benar menurut Al-Mawardi). Sedangkan penunjukan terhadap salah satu dari yang kedua maka ada tiga pendapat; 1. Seorang imam tidak bisa melakukan baiat dengan sendirinya, akan tetapi dengan persetujuan ahl al-hal wa al-‘aqd, 2. Seorang imam bisa melakukan baiat dengan sendirinya karena ia merupakan pemimpin yang efektif kepemimpinannya, 3. Diperbolahkan bait dengan sendirinya kepada bapaknya sendiri akan tetapi bukan kepada anak karena kecenderungan emosional seseorang lebih berat kepada anak daripada kepada orang tua. Al-Mawardi, Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, hlm. 11-12. Pendapat Al-Mawardi tentang mekanisme penunjukan ini bukan merupakan deskripsi sejarah akan tetapi wawasan normatif yan dilandaskan kepada praktik Abu Bakar yang melakukan penunjukan kepada Umar Ibn Al-Khatab. Hanya saja hemat penulis, mekanisme penunjukan kepada orang lain maupun bapak/anak secara mutlak tanpa persetujuan ahl al-hal wa al-aqd dengan pendasaran terhadap praktik Abu Bakar ini kurang kuat atas beberapa pertimbangan; 1. Bertentangan dengan hadits Nabi yang mengajarkan musyawarah, apalagi dalam hal sepenting ini. 2. Hanya ada satu atsar yang diriwayatkan dalam hal ini, ada kemungkinan Abu Bakar telah mengajak bermusyawarah dengan beberapa sahabat meski tidak secara resmi membentuk tm sebagaimana Umar Ibn Khathab ketika hendak merumuskan penggantinya. 3. Perlu dianalisis latar belakang Al-Mawardi menjelaskan perbedaan-perbedaan pendapat yang sedemikian beragam dalam konteks negara yang represif saat itu. Ia hidup pada masa kepemimpinan Abbasiyah yang dipegang oleh Al-Qadir Billah. Al-Mawardi sendiri berwasiat supaya buku yang ditulisnya tidak diterbitkan kecuali setelah dirinya meninggal dunia. Untuk membaca konteks sosio-politik di mana Al-Mawardi hidup bisa dibaca: Jalal Syaraf, Al-Fikr Al-Siyasi, hlm. 2
17 Demokrasi sebagai al-hukm li al-sya’bi seringkali dipertentangan dengan hakimiyyatullah yang menjadi dasar syariah Islam. Padahal seharusnya demokrasi dipertentangkan dengan al-hukm li al-fard yang merupakan faktor pembentuk diktatorianisme (asas al-diktaturiyyah). Muhammad Yusuf Al-Qaradhawi, Min Fiqh Al-Daulah fi Al Islam (Kairo, Dar Al-Syuruq, 2005) cet. IV, hlm. 139. Demokrasi yang berarti kekuasaan rakyat merupakan hak dari Allah SWT yang dilimpahkan kepada manusia. Maka dalam konsep Islam, kekuasaan penguasa tidak lah berarti kekuasaan ketuhanan (sulthah ilahiyyah) akan tetapi kekuasaan rakyat yang secara terbatas dipercayakan kepadanya. Al-Sanhuri, Al-Khilafah, hlm. 69.
18 Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat; Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 2003) hlm. 14.
19 Ibid., hlm. 12. Spanyol telah jatuh ke tangan umat Islam pada dasawarsa pertama abad ke 8. Di samping Spanyol, semua wilayah Afrika Utara dari Tangier di pantai Atlantik sampai Mesir dan Laut Merah, Sardinia, sebagian Sisilia dan seluruh Timur Tengah membentang ke utara sampai pegunungan Kauskasus, Ural dan Yordania; ke timur meliputi kawasan-kawasan Punjab, Sind dan Gujarat di India, ke timur laut meliput Ferghana, ke selatan meliputi seluruh semenanjung Arabia dan ke Barat samapi ke Perbatasan Byzantine.
20 Nakosteen, Kontribusi, hlm. 15. Baca juga Adam Mez dalam Al-Hadharah Al-Islamiyyah fi Al-Qarni Al-Rabi Al-Hijri (Kairo: Mathba’ah Lajnaj Al-Ta’lif wa Al-Tarjamah wa Al-Nasyr, 1957)
21 Al-Asymawi, Al-Khilafah, hlm. 40.
22 Al-Syatibi menggunakan redaksi yang lebih tepat untuk melakukan kategorisasi ini dengan redaksi kalimat yang dituliskannya, “Al-ashlu fī al-ibādāt bi al-nisbah ila al-mukallaf al-ta‘abbud dūna al-iltfāt ilā al-ma‘āni, wa al-ashlu fī al-‘adāt al-iltifāt ilā al-ma‘āni.” Penggunaan kata al-ashlu mengindikasikan adanya kemungkinan pengecualian. Kemudian penggunaan redaksi al-mukallaf menjelaskan tidak terlihatnya ‘illah hanyalah berlaku bagi manusia, adapun bagi Allah Swt., segala syariatnya sudah barang tentu mempunyai hikmah dan tujuan. Nu’man Jughaim, Thuruq Al-Kasyf ‘An Maqāshid Al-Syarī‘ah (Beirut: Dar Al-Nafais, 2002), hlm. 161. Para pengusung khilafah biasanya tidak membedakan antara dimensi keagamaan yang bersifat statis (al-tsabit)seperti halnya dasar-dasar akidah dan ibadah dengan dimensi keagamaan yang bersifat dinamis (al-mutahawwil) seperti halnya muamalah dan politik. Dimensi keagamaan yang bersifat statis tidak bisa dirubah, sedangkan dimensi keagamaan yang bersifat dinamis bisa saja dirubah dan dikembangkan.
23 Al-Asymawi, Al-Khilafah, hlm. 394. Baca juga Farij Wajdi, Dairah Al-Ma’arif, vol. III, hlm. 743-744.
24 Ali Abdurraziq, Al-Islam wa Ushul Al-Hukm; Bahsun fi Al-Khilafah wa Al-Hukumah Al-Islamiyyah (Kairo: Mathba’ah Mishr, 1925) cet. III, hlm. 55.
25 Al-Sanhuri, Khilafah, hlm. 352. Fahmi Huwaidi, Muwathinun la Dzimmiyyun (Kairo: Dar Al-Syuruq, 1999) hlm. 110.
26 Al-Sanhuri, Khilafah, hlm. 286. Al-Qaradhawi, Min Fiqh Al-Daulah, 139. Al-Qaradhawi juga menggagas Daulah Islamiyah akan tetapi bukan Daulah Diniyah. Daulah Islamiyah adalah sebuah pemerintahan yang disandarkan pada prinsip keislaman dan penerjemahannya dalam berbagai bidang sedangkan Daulah Diniyah adalah sebuah pemerintahan dengan kepemimpinan mutlak yang mengatasnamakan agama. Al-Qaradhawi, Min Fiqh Al-Daulah, hlm. 56.
27 Al-Sanhuri, Khilafah, hlm. 287.
28 Hasan Hanafi, Khishar Al-Zaman (Kairo: Markaz Al-Kitab Li Al-Nasyr, 2004) cet. I, hlm. 422-423.
29 Mesir memperoleh kemerdekaannya dari Inggris pada tahun 1922. Irak merdeka secara formal pada tahun 1932. Syria, Yordania dan Libanon pada tahun 1946. Libya merdeka dari Perancis pada tahun 1951. Sedangkan Sudan dan Maroko merdeka dari Perancis pada tahun 1956. Aljazair merdeka dari Perancis pada tahun 1962, dalam waktu hampir bersamaan dengan Yaman Utara, Yaman Selatan dan Emirat Arab. Malaysia merdeka dari Inggris pada tahun 1957 dan Brunei Darussalam merdeka dari Inggris pada tahun 1984.
30 Hanafi, Khishar, hlm. 422-423.
31 Hasan Hanafi, Qadhaya Muashirah fi Al-Fikr Al-Gharbi Al-Muashir (Kairo: Dar Al-Fikr Al-Arabi, tt) hlm. 423.
32 Hanafi, Qadhaya Muashirah, hlm. 425.
-PAKDOE ALLAN -
0 comments:
Catat Ulasan